Selasa, 26 Juni 2012

kebijakan moneter islam


KEBIJAKAN MONETER ISLAM

A.                PENDAHULUAN
Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang yang beredar,dalam analisis ekonomi makro,memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian,juga terhadap stabilitas harga-harga. Uang yang beredar yang terlalu tinggi tanpa disertai kegiatan produksi yang seimbang akan ditandai dengan naiknya tingkat harga-harga pada seluruh barang dalam perekonomian atau dikenal dengan istilah inflasi.[1]
Sistem keuangan Islam sesungguhnya merupakan pelengkap dan penyempurnaan sistem ekonomi Islam yang berlandaskan kepada produksi dan perdagangan atau dikenal dengsn istilah sektor riil. Kegiatan yang tinggi dalam bidang produksi dan perdagangan akan mempertinggi jumlah uang beredar,sedangkan kegiatan ekonomi yang lesu akan berakibat rendah perputaran jumlah uang yang beredar.
 Dengan kata lain permintaan terhadap uang akan lahir terutama pada motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada umumnya oleh tingkat pendapatan uang dan distribusinya. Makin merata distribusi pendapatan,makin besar permintaan akan uang untuk tingkatan pendapatan agregat tertentu. Dalam perekonomian Islam,keseimbangan antara aktivitas ekonomi riil dengan tinggi rendahnya uang yang beredar senantiasa dijaga. Salah satu instrumen untuk menjaga adalah sistem perbankan Islami.[2]

B.                 KEBIJAKAN MONETER TANPA BUNGA
Dalam perekonomian Islam,sektor perbankan tidak mengenal instrumen suku bunga. Sistem keuangan Islam menerapkan sistem pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing),bukan kepada tingkat bunga yang telah menetapkan tingkat keuntungan dimuka. Besar kecilnya pembagian keuntungan yang diperoleh nasabah perbankan Islam ditentukan oleh besar kecilnya pembagian keuntungan yang  diperoleh bank dari kegiatan investasi dan pembiayaan yang dilakukannya disektor riil. Jadi, dalam sistem keuangan Islam,hasil dari investasi dan pembiayaan yang dilakukan bank disektor riil yang menentukan besar kecilnya pembagian keuntungan disektor moneter. Artinya sektor moneter memiliki ketergantungan pada sektor riil. Jika investasi dan produksi disektor riil ini berjalan dengan lancar, maka return pada sektor moneter akan meningkat. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi sektor moneter merupakan cerminan kondisi sektor riil.
Dalam perekonomian Islam, permintaan akan dana untuk investasi yang berorientasi kepada modal sendiri, merupakan bagian dari permintaan transaksi total dan akan bergantung pada kondisi perekonomian dan laju keuntungan yang diharapkan yang tidak akan ditentukan di depan. Mengingat harapan terhadap keuntungan tidak mengalami fluktuasi harian atau mingguan,permintaan agregat kebutuhan transaksi akan cenderung lebih stabil. Stabilitas yang lebih besar dalam permintaan uang untuk tujuan transaksi akan cenderung mendorong stabilitas yang lebih besar bagi kecepatan peredaran uang dalam suatu fase daur bisnis dalam sebuah perekonomian Islam dan dapat diperkirakan perilakunya secara lebih baik.[3]
Karena itu varibel yang akan dipakai dalam suatu kebijakan moneter yang diformulasikan dalam sebuah perekonomian Islam adalah cadangan uang (stock of money) daripada suku bunga. Bank sentral Islam harus menjalankan kebijakan moneternya untuk menghasilkan suatu pertumbuhan dalam sirkulasi uang yang mencukupi untuk membiayai pertumbuhan potensi dalam output selama periode jangka menengah dan panjang dalam kerangka harga-harga yang stabil dan sasaran-sasaran sosial ekonomi islam lainnya. Tujuannya adalah menjamin bahwa ekspansi moneter tidak bersifat “kurang mencukupi’ atau “berlebihan”,tetapi cukup untuk sepenuhnya mengeksploitasi kapasitas perekonomian agar dapat mensuplai barang-barang dan jasa bagi kesejahteraan yang berbasis luas. Laju pertumbuhan yang dituju harus bersifat berkesinambungan,realistis,serta mencakup jangka menengah dan panjang,dan tidak kurang realistis dan sukar diperkirakan.
Haruslah disadari,untuk mewujudkan sasaran Islam,tidak saja harus melakukan reformasi perekonomian dan masyarakat sejalan dengan garis-garis Islam,tetapi juga memerlukan peran positif pemerintah dan semua kebijakan negara termasuk fiskal,moneter,dan pendapatan,harus berjalan dengan seirama. Praktik-praktik yang monopolistis harus dihilangkan dan setiap usaha harus dilakukan untuk menghapuskan kekakuan struktural dan menggalakkan semua faktor yang mampu menghasilkan peningkatan penawaran barang dan jasa[4].
Para ekonom Islam telah menunjukkan bahwa sistem bagi hasil tidak hanya layak,tetapi juga lebih efisien dibanding sistem berdasarkan bunga. Sistem berdasarkan bunga tidak efisien sepanjang perusahaan produktif dimodali dengan kredit berbunga yang para penyedia modalnya hanya mempertimbangkan kemampuan/kekayaan si peminjam. Produktivitas perusahaan untuk memperoleh dana investasi bukanlah pertimbangan utama. Sebaliknya, dalam sistem bebas bunga, bank dan penyedia dana investasi hanya berdasarkan pada prospek produktivitas perusahaan karena hasilnya,maupun pelunasan kembali modalnya yang akan bergantung pada hasil perusahaan yang bersangkutan.[5]
Sistem bagi hasil akan menjamin  keadilan di tingkat mikro dan di tingkat makro. Bila diperoleh keuntungan yang tinggi atas penggunaan modal,maka wiraswastawan, bank sebagai perantara dan para penabung sama-sama mendapatkan keuntungan yang tinggi pula berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati terlebih dahulu. Bila keuntungan rendah,masing-masing pihak masih menerima bagiannya masing-masing. Jika rugi, si wiraswastawan tidak diberi imbalan tetapi tidak perlu mengorbankan harta kekayaan sendiri, seperti yang harus dilakukannya pada sistem yang berdasarkan bunga.[6]

C.                SUMBER-SUMBER EKSPANSI MONETER
Untuk menjamin bahwa pertumbuhan moneter “mencukupi” dan tidak “berlebihan”,perlu memonitor secara hati-hati tiga sumber utama ekspansi moneter. Dua diantaranya adalah domestik. Pertama, membiayai defisit anggaran pemerintah dengan meminjam dari bank sentral. Kedua, ekspansi deposito melalui penciptaan kredit pada bank-bank komersil. Ketiga, bersifat eksternal, yaitu “menguangkan” surplus neraca pembayaran luar negeri.[7]


1.                  Defisit Fiskal
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengambil sumber-sumber riil pada laju yang lebih cepat dari yang berkesinambungan pada tingkat harga yang stabil, dapat menimbulkan peningkatan defisit fiskal dan mempercepat penawaran uang sehingga menambah laju inflasi. Bahkan di negara-negara industri utama,defisit fiskal yang besar telah menjadi sebab utama kegagalan memenuhi target suplai uang. Hal ini cenderung menggeser beban perjuangan dalam menghapuskan inflasi pada kebijakan moneter. Karena itu, kalau tidak ingin kebijakan moneter menjadi kurang efektif,harus ada koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal untuk merealisasikan tujuan-tujuan nasional.
Ini menggarisbawahi perlunya suatu kebijakan fiskal yang noninflasioner dan realistis dinegara-negara muslim. Karena itu,suatu pemerintahan muslim yang sungguh-sungguh komitmen kepada pencapaian sasaran ini harus melakukan suatu kebijakan fiskal yang konsisten dengan sasarannya. Ini lebih penting karena pasar-pasar uang di negara-negara muslim relatif terbelakang dan kebijakan moneter tidak dapat berperan efektif dalam meregulasi suplai uan,seperti yang dapat dilakukan dalam kebijakan fiskal.Ini tidak dengan sendirinya meniadakan defisit fiskal, tetapi memaksakan batasan bahwa defisit diperbolehkan hanya sejauh diperlukan untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan dan kesejahteraan yang berbasis luas dalam kerangka harga-harga yang stabil.

2.                  Penciptaan Kredit Bank Komersil
Deposito bank komersil merupakan bagian penting dari penawaran uang. Sebagai kemudahan untuk analisis, deposito ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, “deposito primer” yang menyediakan sistem perbankan dengan basis uang (uang kontan dalam bank + deposito di bank sentral).  Kedua, “deposito derivatif” yang dalam sebuah sistem cadangan proporsional mewakili uang yang diciptakan oleh bank komersial dalam perluasan kredit dan merupakan sumber utama ekspansi moneter dalam perekonomian dengan kebiasaan perbankan yang sudah maju. Deposito deviratif akan menimbulkan suatu peningkatan penawaran uang, seperti halnya mata uang yang dikeluarkan oleh pemerintah atau bank sentral.
 Karena ekspansi ini, persis seperti defisit pemerintah, memiliki potensi inflasioner jika tidak ada pertumbuhan pengganti dalam output, ekspansi dalam deposito deviratif  harus diatur jika pertumbuhan moneter yang diinginkan harus dicapai. Hal ini dapat direalisasikan dengan mengatur ketersediaan uang basis bagi bank-bank komersil.
Untuk tujuan ini, ketiadaan bunga sebagai mekanisme pengatur akan berguna. Sebenarnya, ia akan berguna karena akan menghapuskan efek yang menimbulkan ketidakstabilan suku bunga yang berfluktuasi, akan menstabilkan permintaan terhadap uang, dan secara substansial mengurangi amplitudo fluktuasi ekonomi.

3.                  Surplus Neraca Pembayaran
Hanya sebagian kecil negara-negara muslim menikmati surplus neraca pembayaran, sedangkan sebagian besar dari mereka mengalami defisit. Mereka yang mengalami surplus, surplus itu tidak terjadi dalam sektor swasta dan tidak menyebabkan suatu ekspansi otomatis dalam penawaran uang. Ia terjadi hanya karena pemerintah menguangkan surplus dengan membelanjakannya secara domestik, sedangkan defisit neraca pembayaran sektor swasta tidak menggantikan ini secara memadai. Jika dalam suatu negara dengan suatu surplus, pengeluaran pemerintah diatur menurut kapasitas ekonomi untuk menghasilkan penawaran riil, seharusnya tidak ada inflasi yang dihasilkan secara internal sebagai akibat dari adanya surplus neraca pembayaran.


D.                KESIMPULAN
Kebijakan moneter dalam islam adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang yang beredar,dalam analisis ekonomi makro Islam,memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian,juga terhadap stabilitas harga-harga. Dalam perekonomian Islam,keseimbangan antara aktivitas ekonomi riil dengan tinggi rendahnya uang yang beredar senantiasa dijaga. Salah satu instrumen untuk menjaga hal tersebut adalah sistem perbankan Islami. Yang mana dalam sistem keuangan Islam menerapkan sistem pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing),bukan kepada tingkat bunga yang telah menetapkan tingkat keuntungan dimuka.
Untuk menjamin bahwa pertumbuhan moneter mencukupi dan tidak berlebihan,maka perlu memonitor secara hati-hati tiga sumber utama ekspansi moneter yaitu defisit fiskal,penciptaan kredit bank konvensional, dan surplus neraca pembayaran

DAFTAR PUSTAKA

Chapra M. Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Lubis Ibrahim , Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, Jakarta: Kalam Mulia, 1995.
Nasution  Mustafa Edwin dkk,Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta:Kencana Prenada Media      Group, 2007.
Nawawi Ismail , Ekonomi Islam Perspektif Teori,Sistem,dan Aspek Hukum, Surabaya: Putra Media Nusantara, 2008.


[1]Mustafa Edwin Nasution dkk,Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,(Jakarta:Kencana Prenada Media      Group,2007),hlm.261

[2]Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori,Sistem,dan Aspek Hukum, (Surabaya: Putra Media Nusantara,2008), hlm.202.
[3] Mustafa Edwin Nasution, dkk. Op. Cit.,hlm.262-265
[4] Ibid.hal.265

[5] Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hal.487.

[6] Ibid, hal.488.

[7] M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hal.137-140.

etika bisnis islam


ETIKA DAN PERLAKUAN TERHADAP KONSUMEN



A.    PENDAHULUAN

Tidak terbantahkan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas kehidupan manusia dan bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan masyarakat modern. Dengan fenomena ini mustahil orang terlepas dari pengaruh bisnis dan sebagai konsekuensinya, masyarakat adalah konsumen yang menjadi sasaran para produsen dimana-mana. Karena itu sangatlah logis jika dikatakan bahwa bisnis adalah bagian integral dari masyarakat dimanapun mereka berada dan akan mempengaruhi kehidupan mereka, baik secara positif maupun negatif.
 Berdasarkan kenyataan diatas,dari perspektif etis,segala aktivitas bisnis dituntut untuk menawarkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,dalam arti,tidak menawarkan sesuatu yang merugikan hanya demi meraih keuntungan sepihak.Para pelaku bisnis bisa saja berasumsi bahwasanya bisnis merupakan aktivitas netral,dimana mereka terpanggil untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Mereka beranggapan bahwa aktivitasnya hanya untuk memenuhi permintaan masyarakat tanpa mempertimbangkan apakah barang atau jasa yang diproduksi dan dipasarkan merugikan,atau berpotensi merugikan konsumen. Sikap netral memang merupakan salah satu prinsip yang harus dipegang oleh para produsen,namun mereka tidak dibenarkan untuk mendikte apalagi memaksa konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang dihasilkan.
Namun dalam kenyataan tidaklah demikian. Berbagai fakta menunjukkan bahwa dalam hal  justru produsen itulah yang menciptakan kebutuhan bagi masyarakat dan bukan sekedar melayani kebutuhan yang sudah ada. Bertolak belakang dengan kenyataan itu, dengan sendirinya dibutuhkan adanya perangkat legal politis untuk menentukan aturan main yang bisa melindungi kepentingan masyarakat atau konsumen. Dalam hal ini dibutuhkan aturan perundang-undangan yang meletakkan batasan-batasan minimal yang berfungsi untuk memandu, sekaligus mengatur kegiatan bisnis dalam kaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Hal ini dapat diwujudkan melalui undang-undang periklanan, undang-undang keamanan dan kesehatan produk, undang-undang yang mengatur mengenai mutu produk dan lain sebagainya.
Tampaknya, respon Islam untuk menyelesaikan problem rumit itu dalam kaitan dengan perlindungan dan perlakuan terhadap konsumen sangat berbeda dari respon ekonomi pasar atau ekonomi “komando”. Dalam ajaran Islam, pelaksanaan perekonomian sepenuhnya berdasarkan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an, sunnaturasul, dan ajaran yang dilaksanakan para sahabat. Di dalamnya diterangkan mengenai prinsip-prinsip keseimbangan dan toleransi yang salah satunya membahas masalah perlindungan terhadap konsumen. Dengan adanya perlindungan maka diharapkan kehidupan masyarakat akan lebih baik, aman, dan terhindar dari tindakan yang merugikan mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari adanya kesadaran produsen sehingga kedua belah pihak yaitu produsen dan konsumen tidak saling dirugikan.



B.     PENGERTIAN KONSUMEN

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen didefinisikan sebagia “ Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”[1]. Tampaknya  defenisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi, seperti badan hukum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat dan adanya batasan-batasan yang samar[2]
Pendapat lain merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap individu atau kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikan khusus, produk, atau pelayanan dan kegiatan,tanpa memperhatikan apakah ia berasal dari pedagang,pemasok,produsen pribadi atau publik, atau apakah ia berbuat sendiri ataukah secara kolektif[3]
Dalam islam tampaknya belum dikonkretkan defenitif, siapakah sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara sempit menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat islam hanya dituntun secara ketat dengan sederetan larangan (yakni: makan daging babi,minum minuman keras,mengenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk pria, dan seterusnya)[4]
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas  bukanlah sebuah rumusan pengertian dari sebuah defenisi konsumen. Tetapi hanya menggambarkan secara sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh seorang konsumen muslim. Oleh karena itu sebagai gambaran, yang dimaksud konsumen menurut penulis adalah “Setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku”.
Bagi konsumen muslim dalam mengonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus yang halal dan baik. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan konsumen sesuai dengan nilai etis yang bersumber dari ajaran keyakinan yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perundangan yang berlaku.


C.    HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

1.      Hak Konsumen ( Pasal 4)
a.       Hak atas kenyamanan,keamanan dan keselamtan dalam mengkonsumsi barang atau jasa
b.      Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c.       Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan jasa
d.      Hak untuk didengarkan pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan
e.       Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan secara patut
f.       Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i.        Hak-hak yang di atur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

2.      Kewajiban Konsumen
a.       Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa
b.      Beritikad  baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa
c.       Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
            Dengan terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Yang penting dalam hal ini adalah bagimana sikap produsen agar memberian hak-ahak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping juga agar konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya.  Di sini dimaksudkan agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing.
            Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya yang menjadi kewajiban bagi konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling menghormati apa yang menjadi hak maupun  kewajiban masing-masing, maka akan terjadilah keseimbangan sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi islam. Dengan prinsip keseimbangan akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan orang lain.
Apa yang tertuang dalam undang-undang diatas secara eksplisit dan substansial sebenarnya sama dengan ajaran etika islam. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa misalnya, dimaksudkan agar konumen muslim dalam memakan dan memakai setiap produk benar-benar aman kesehatannya dan aman agamanya. Dalam hal ini dituntut agar setiap produk aman bahan bakunya,benar prosesnya dan halal zatnya sehingga dengan demikian bisa menjawab pertanyaan Mannan sebagaimana dikutip sebelum ini, yakni untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang dan jasa apa yang akan dihasilkan, dan bagaimana cara menghasilkannya?  Mampu menjawab dan mempraktekan pertanyaan-pertanyaan ini maka berarti para pelaku bisnis telah melindungi kepentingan konsumen sesuai yang diinginkan dalam etika bisnis islam.
Selanjutnya hak untuk memilih barang yang didalam islam dikenal dengan istilah khiyar, disini dimaksudkan agar konsumen diberi kebebasan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan selera ( keinginannya). Selain itu juga perlu mendapat kualitas barang sesuai dengan harga yang ditetapkan dan disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan oleh pelaku bisnis terhadap konsumen karena bisa jadi barang yang telah diperoleh tidak sesuai dengan harga yang dibayar. Pelaku bisnis  bisa saja mempermainkan harga dengan jalan menaikannya dari harga normal. Justru karena itu Nabi saw dalam sebuah hadisnya secara umum telah melarang mempermainkan harga. “Barang siapa yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum muslimin dengan tujuan untuk menaikkan harga tersebut, maka sudah menjadi hak Allah untuk menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Semua itu sangat tergantung kepada keadilan, kejujuran dan keterbukaan para pelaku bisnis (produsen). Karena tidak adanya kebebasan konsumen dalam memilih suatu barang akibat mekanisme pasar yang monopolistik, maka Rasulullah SAW dennga tegas telah melarang praktik monopoli, karena ia juga sebagai pemicu dari tidak seimbangnya nilai tukar dalam jual beli. Dengan demikian, dapat diprediksi banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat. Diantaranya : a) permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al-khtikar), b) penyalahgunaan  kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-istirsal, karena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang sedang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah, dan c) karena penipuan dan informasi yang tidak akurat/informatif-ghurur.[5]
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fiqh Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (Fixing price), pemberlakuan khiyar al-gubhn al-fahisy (perbedaaan nilai tukar menyolok), pemberlakuan al-khiyar mustarsil (karena tidak tahu harga sehingga ia membeli atas kepercayaan pada pedagang), larangan jual beli an-najasy, larangan jual beli talaqi rukban dan jual beli al-hadhir li bad.[6]
Demikian juga dalam hubungan dengan hak mendapat advokasi jika sekiranya terjadi sengketa, pada prinsipnya Islam mengedepankan adanya perdamaian (al-shulhu). Tetapi jika sekiranya tidak ditemukan jalan keluarnya maka cara penyelesaiannya perlu melalui arbitrase (al-tahkim) hanya saja pada umumnya yang dimenangkan adalah pihak konsumen sehingga disinilah perlu diciptakan dewan pengawas yang dikenal dengan sebutan ­al-hisbah di neggara Islam. Dewan ini bisa saja ikut membela hak-hak konsumen agar terhindar dari arogansi pelaku bisnis. Di Indonesia tugas penyelesaian kasus semacam ini antara lain bisa melalui badan peradilan niaga.
Selain itu jika sekiranya konsumen melakukan klaim karena merasa dirugikan karena ternyata barang yang diterima mengandung cacat dengan maksud untuk mendapat ganti rugi. Apabila suatu barang telah rusak ditangan pembeli, kemudian ia mengetahui bahwa terdapat cacat pada barang tersebut, maka jika bersandar pada pendapat al-Khatib al-Syarbainiy, pembeli berhak menuntut kerugia senilai cacat yang terjadi, dengan cara perhitungan nilai apabila barang tersebut sempurna. Sedangkan patokan harga diambil dari harga terendah pada hari terjadi transaksi.[7] Ibnu ‘Abidin menyatakan bahwa patokan harga sesuai dengan waktu dan tempat transaksi, namun apabila mata uang yang berlaku ketika akad tidak berlaku lagi pada saat ganti rugi, maka yang dituntut nilainya (al-qimah) bukan barang semisal (al-mitsl).
Jika sekiranya pelaku bisnis tidak mau tahu (membangkang) atas kerugian yang diderita konsumen, padahal sudah jelas terbukti, maka menurut Ibnu Taymiyah perlu diberlakukan hukum hudud Allah dan hak-hak publik (huquqq Allah).[8] Secara hukum dan moral bagaimanapun seseorang tidak boleh merampas sekecil apapun hak orang lain, dalam arti ia harus mengganti kerugian itu kepada yang berhak. Bagi yang mempunyai kesadaran etis tentu saja ia tidak akan menunggu sampai diberlakukannya hukum hudud. Dengan kesadaran etisnya ia akan mengganti kerugian itu kepada siapapun yang berhak, dalam hal ini adalah konsumen.


D.    PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM: MEMADUKAN YANG MATERIAL DAN SPIRITUAL

Konsumsi adalah permintaan, sedangkan produksi adalah penyediaan perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi modern itu terletak pada  cara pendekatanya dalam memenuhi kebutuhan seseorang.islam tidak mengakui keinginan materialitis sebagaimana pola konsumsi modern. Harga diri seseorang tidak lagi diukur dari aspek fisik, spiritual, tetapi dari apa yang nampak secara fisik,  yang antara lain bisa berupa seberapa banyak kendaraan yang di miliki, bagaimana kualitas baju yang dipakai, seberapa banyak uang yang di tabung dan masih banyak lagi. Inilah fenomena yang sangat menonjol di era modern dewasa ini yang menjadikan kebendaan (harta) sebagai parameter status sosial seseorang.   
            Pandangan  terhadapa penjelasan diatas itu sangat berda dengan konsepsi nilai islam. Etika islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang hampir tanpa batas , untuk  bisa menghasilkan energi dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan batiniah telah dijadikan cita – cita tertingi dan mulia dalam hidup.  Sekalipun diakui bahwa maniusia butuh materi sebagai pemuas kebutuhan fisikip-biologisnya, namun bagaimanapun kebutuhan spiritual teteap harus dikedepankan. Sikap semacam ini tentu saja akan berpengaruh pada bagaimana cara seseorang konsumen mengkonsumsi sebuah produk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini islam telah menetapkan prinsip – prinsip konsumen selaku peningkatan produksi.
Ada lima prinsip konsumsi dalam islam sebagaimana yang dikemukakan M. Abdul Mannan sebagai berikut[9]
1.                  Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang membahas tentang mencari rezeki, seseorang harus mencari rezeki dengan cara halal dan tidak melanggar hukum,sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B   
 “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”(QS. Al-Baqarah:168)[10]
Kata “Halal” maksudnya adalah bagaimana cara memperolehnya itu harus sah tidak melanggar hukum memperhatikan prinsip keadilah, maka harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai yang haram dimakan. Alangkah bahagianya dan mulianya bila mengedepankan prinsip keadilan, baik dalam mencari rezeki juga mengkonsumsinya. Karena kemuliaan itu tidak hanya dihadapan sesama manusia,bahkan lebih jauh dari itu,yakni kemuliaan di hadapan Allah
2.                  Prinsip Kebersihan
Prinsip pertama mengenai halal,, dan prinsip kedua yaitu menekankan adanya kebersihan. Bersih yang dimaksud disini dalam arti lahir(Fisik). Faktor kebersihan memang sangat diutamakan dalam islam . sampai pentingnya kita dituntut untuk memperhatikan kebersihan, dalam islam kebersihan dikaitkan dengna keimanan, karena itu arahan al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan makanan hendaknya harus yang baik dan cocok untuk di makan, tidak kotor  juga menjijikan sehingga tidak menghilangkan selera makan. Nabi Saw menyatakan bahwa kebersihan dalam segala hal adalah sebagian dari iman. Selain itu Rasulullah saw  mengatakan  “ Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan sesudah memakannnya”(HR. Tirmizi).[11]

3.                  Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ketiga yang menekankan agar dalam mengkonsumsi makanan dan minuman manusia tidak berlebih-lebihan,sesuai  dalam firman-Nya:
 ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$#   
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[12]

“Israf”(berlebihan) merupakan symbol keserakahan di segala hal di dunia ini. Berlebihan dalam apapun, dia berada dalam titik ekstrim yang menimbulkan  kesenjangan dalam kehidupan. Berlebihan dalam makan berarti seseorang itu dikendalikan oleh nafsu perut. Bila berkelanjutan, nafsu itu  akan merambat pada nafsu ingin berkuasa, karena dengan kekuasaan seseorang akan berlimpah fasilitas. Dengan fasilitas yang berlebihan seseorang akan mudah mengumpulkan harta yang bisa memfasilitasi keinginan nafsu perut dan seksualnya. Jika nafsu menguasai pelaku bisnis (produsen) bukanlah  mustahil ia akan memperlakukan konsumen hanya untuk mengeruk keuntungan sendiri.
4.                  Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati perintah Islam,maka tidak akan ada bahaya maupun dosa dalam mengkonsumsi makanan dan minuman halal yang dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-Nya.
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,darah,daging babi,dan binatang yang ketika  disembelih disebut nama selain nama Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”( QS.Al-Baqarah:173)
            Pada hakikatnya semua rezeki yang kita konsumsi adalah anugerah Allah. Apa yang kita konsumsi pada hakikatnya adalah milik Allah yang diamanatkan kepada manusia dimuka bumi. Karena itu sangatlah logis jika kita dalam memiliki dan mengkonsumsi harta tidak boleh berlebihan, karena didalam apa yang kita miliki itu ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Hak-hak itu bisa berupa zakat, infak, dan shodaqoh
5.                  Prinsip Moralitas
Berakhlak dalam islam tidak hanya dialamatkan kepada sesama manusia,tetapi juga kepada diri sendiri,alam sekitar, dan bahkan terhadap Tuhan sekalipun. Apa yang kita makan dan  minum yang diperoleh dengan cara yang halal sama halnya dengan menghargai diri sendiri dan hormat kepada Tuhan. Dalam kita mengkonsumsi dituntut agar selalu ingat kepadaNya, karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual secara simultan.


E.      GERAKAN KONSUMEN: ANTISIPASI TERHADAP DISTORSI MORAL

            Untuk mengatasi dan mengantisipasi pengaruh kekuatan produsen yang cenderung merugikan konsumen diperlukan keterlibatan pemerintah sebagai pemegang hak otoritas dalam sebuah negara. Dalam hal ini pemerintah bisa melakukan pengawasan dan pengaturan (regulasi) yang memaksa pelaku bisnis untuk menghormati hak orang lain.Tetapi dalam praktiknya,hal ini tidak mudah dilakukan sehingga pada akhirnya lahirlah gerakan dari kalangan masyarakat yang disebut Gerakan Konsumen. Ini berarti, untuk melawan arogansi produsen belum cukup dilakukan pemerintah semata,namun tampaknya harus juga diduung oleh masyarakat secara umum.
Sebenarnya gerakan dan pengawasan pemerintah tidak diperlukan lagi jika sekitarnya dalam dri para pelaku bisnis ada kesadaran bahwa pengawasan Allah swt. Jauh lebih teliti daripada pengawasan manusia.[13] Bersumber dari kesadaran inilah yang akan mengetuk hati para pelaku bisnis agar tidak bertindak merugikan konsumen. Dengan kata lain,para produsen akan memperlakukan konsumen secara adil,transparan,jujur dan lain sebagainya baru akan berjalan dengan tulus jika dilandasi oleh kesadaran etis yang bernuansakan nilai spiritual.
            Selanjutnya ada beberapa alasan lahirnya gerakan konsumen sebagaimana dikemukakan A.Sonny Keraf seperti berikut:[14]
1.      Banyak produsen berhati emas dan punya kesadaran moral yang tinggi, namun hati dan kesadaran  moral itu sering dibungkam oleh keinginan untuk mendapat keuntungan dalam waktu singkat untuk mendapatkan uang atau keuntungan dalam waktu singkat tanpa mempedulikan hak konsumen.
2.      Banyak Negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, para produsen lebih dlindungi oleh pemerintah karena mereka dianggap punya jasa besar dalam menopang perekonomian Negara. Akibatnya kepentingan mereka lebih diamankan pemerintah ketimbang kepantingan konsumen.
3.      Dalam system sosial politik dimana kepastian hukum tidak jalan, pihak produsen akan  dengan mudahnya membeli kekuasaan untuk melindungi kepentingannya terhadap tuntutan konsumen. Kalaupaun konsumen menuntut,pihak produsen selalu merasa diri diatas angin.
4.      Konsumen (individual khususnya), merasa rugi kalau harus menuntut produsen dan karena itu ia selalu berada dalam posisi yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa benar – benar digunakan sebagai kekuatan konsumen dimana keluhan mereka melalui rubrik surat pembaca punya dampak efektif mempengaruhi produsen.

Menurut Keraf,salah satu syarat bagi terpenuhi dan terjaminnya hak-hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka dan dibebaskan dari semua pelaku ekonomi,termasuk produsen dan konsumen. Pasar terbuka dan bebas akan berfungsi semaksimal mungkin untuk menjamin kepentingan konsumen dan juga kepentingan produsen.
Selain itu, salah satu langkah yang sangat berpengaruh adalah Gerakan Konsumen. Gerakan ini didasari karena adanya penggunaan kekuatan bisnis yang merugikan hak dan kepentingan konsumen yang apabila tidak ditanggapi dalam bentuk sebuah”gerakan” akan semakin merugikan konsumen.[15]
            Adapun pertimbangan – pertimbangna gerakan ini di barat lahir karena:
1.      kebutuhan akan informasi dan pedoman yang akurat tentang berbagai produk yang beredar di masyarakat,
2.      kebutuhan akan informasi dari produk jasa yang semakain terspesialisai untuk membantu konsumen agar bisa mengambil keputusan mana yang benar – benar dibutuhkan oleh mereka,
3.      adanya pengaruh iklan yang seringkali membuat konsumen kebingungan dan tidak jarang menipu atau merugikan mereka,
4.      kurang perhatiannya keamanan produk secara serius oleh produsen,
5.      kebutuhan konsumen akan wadah konsultasi, advokasi, dan pelindungan untuk menuntut hak dan kepentingannya sesuai dengan prinsip kontrak jual beli yang adil.
Dikatakan bahwa kehadiran lembaga ini ternyata mengalami kesulitan salah satunya adalah masalah pendanaan bagi kelangsungan dan pengoperasian lembaga.Sesungguhnya masalah ini bisa dicarikan solusi,jika pemerintah memprioritaskan akan kehadirannya. Namun karena ini merupakan lembaga swadaya masyarakat perhatian itu dirasa kurang dan bahkan sering kali berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Akhirnya lembaga ini terpaksa menarik dana dari masyarakat,khusunya konsumen,karena jika dilihat dari fungsinya lembaga ini melakukan penelitian dan mengumpulkan informasi yang akurat. Hasilnya diharapkan dapat dikonsumsi oleh konsumen dengan konpensasi kepada mereka diminta untuk membantu segala biaya yang dikeluarkan.
Akan tetapi dalam realitasnya,lembaga ini mengalami masalah karena konsumen cenderung untuk tidak mau membayar harga informasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh mereka. Hal ini disebabkan karena konsumen pada dasarnya kurang memahami nilai dari sebuah informasi yang bisa melindungi segala kepentingannya. Sekalipun dalam praktiknya menunjukkan demikian, nampaknya lembaga konsumen masih terus berjuang untuk hadir ditengah masyarakat sambil menunjukkan identitas dirinya sebagai lembaga sumber informasi yang dipercaya dan dibutuhkan oleh konsumen.[16]


[1] Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, pasal I
[2] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen ( Jakarta: Grasindo,2002), 2
[3] Ibid,3
[4] Mannan,Teori, 50
[5] Muhammad, Etika, 174
[6] Ibid, 174-179
[7] Dalam ibid, 189
[8] Ibid, 189-190
[9] Prinsip ini oleh penulisan yakni M.Abdul Mannan dikaitkan dengan konsumsi akanan. Kita memahami bahwa masalah ini sangat prinsip sekali karena sebagaian besar produk bisnis yang kita konsumsi adalah berupa makanan. Namun demikian menurut hemat penulis dalam beberapa hal prinsip – prinsip ini bisa dianalogikan pada konsumsi dalam bentuk yang lain, seperti pakaian, kosmetik, dan lain sebagainya yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Lihat Mannan, Teori, 45-48
[10] QS. Al-Baqarah : 168
[11] Dalam Mannan, Teori, 46
[12] QS. Al-A’raf,7: 31
[13] Ibid.,109-114
[14] A. Sonny Keraf, Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya (Yogyakarta:Kanisius,1998), 190-194
[15] Ibid. 191
[16] Semua tulisan yang ada disadur dari buku Muhammad Djakfar,Etika Bisnis dalam Perspektif Islam (Malang:,UIN-Malang Press,2007)