Selasa, 26 Juni 2012

Abul A'la Al maududi


SAYYID ABUL A’LA AL-MAUDUDI

       I.            Pendahuluan
Salah seorang pemikir Islam modern , Al-Maududi, muncul dengan gagasan-gagasan yang sangat besar andilnya bagi perkembangan masyarakat Islam. Beliau  terkenal dengan ide-ide dan pikiran-pikirannya tentang kenegaraan. Di saat orang-orang Islam bingung untuk mencari pemecahan persoalan “bagaimanakah bentuk negara Islam sebenarnya?”. Di saat itu ia tampil dengan meletakkan dasar-dasar negara dan bentuk negara yang ideal menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Negara haruslah berideologi tauhid, atas kedaulatan Tuhan dan system yang universal. Kemudian di saat orang-orang berselisih paham dalam mentransformasi hasil perkembangan modern di dunia barat, sebagian mengagung-agungkan demokrasi Barat dan menunjukkan bahwa demokrasi seperti itulah yang cocok menurut Islam, sementara sebagian yang lain memandang bahwa system teokrasi di Eropa adalah cerminan Islam. Di dalam kebingungan-kebingungan tersebut, al-Maududi menawarkan system negara Islam dengan istilahnya yang baru yakni teodemokrasi dan teokrasi Islam serta konsep-konsepnya yang cukup lengkap tentang negara.
Untuk membahas masalah ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari dinamika masyarakat Pakistan ketika itu. Sehubungan dengan berdirinya negara Pakistan adalah karena keinginan kelompok masyarakat muslim yang ingin berpisah dengan komunitas Hindu. Dengan demikian sudah barang tentu masyarakat muslim tersebut menginginkan bagaimana bentuk negara Islam yang ideal.(Mukti Ali,1992:48)
Di dalam makalah ini akan dibahas tentang al-Maududi yang meliputi riwayat hidupnya dan menjelaskan pokok-pokok pemikirannya tentang negara Islam yang diambil dari buku-bukunya.

    II.            Pembahasan
A.    Riwayat  Hidupnya
Sayyid Abul A’la al-Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 M di Aurangabad, sekarang dikenal dengan Andhra Pradea di India dilahirkan dari keluarga terhormat, nenek moyangnya berasal dari keluarga Nabi saw. Karena itulah ia memakai nama ‘Sayyid’. Nenek moyangnya adalah syekh-syekh tarekat yang terkenal. Ayahnya bernama Ahmad Hasan seorang ahli hukum yang taat. Maududi adalah yang paling kecil dari tiga bersaudara, mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya dan kemudian masuk pada sekolah Fawqaniyah yang menggabungkan pendidikan barat modern dengan pendidikan Islam tradisional sampai ia menyelesaikan dan melanjutkan ke perguruan tinggi Darul Ulum di Hyderabad, tetapi kemudian terhenti karena Bapaknya sakit lalu meninggal. Walaupun secara formal terhenti, namun ia tetap belajar dengan otodidak. Danpada awal 1920-an ia telah menguasai bahasa Arab, Persia, Inggris, dan Urdu sebagai bahasa ibunya. Dengan modal bahasa dan petunjuk sistematis dari gurunya ia dapat menguasai ilmu agama yang mendalam dan intelektual yang tangguh.(1992:238-239)
Sejak muda maududi sudah menekuni bidang jurnalisme, menulis artikel-artikel pada surat kabar Urdu yang terkemuka. Pada usia 17 tahun ia sudah diangkat jadi editor surat kabar Taj dari Jabalpore yang sekarang kotamadya Pradesh di India. Pada akhir 1920 ia dating ke Delhi dan pertama-tama memimpin surat kabar muslim (1921-1923), kemudian al-Jam’iyyat (1925-1928), dan memimpin surat kabar yang didirikan oleh perhimpunan ulama India,al-Jam’iyyat yang menjadi surat kabar terkemuka di India pada saat itu.
Minatnya pada bidang politik juga tumbuh pada sekitar tahun 20-an, sehingga banyak terlibat dalam gerakan oposisi terhadap pemerintahan Inggris padda saat itu.
Kemampuan Maududi dalam berbagai ilmu agama dan pengetahuan modern yang ditopang oleh keahlian jurnalistik yang tinggi mengantarkannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Karangannya mencakup berbagai bidang, seperti tafsir, hadis, hukum, filsafat, dan sejarah. Isi karangannya selalu membicarakan masalah yang dihadapi umat Islam, terutama di bidang politik Ia berusaha memecahkan problem umat dengan konsep-konsep yang relevan dengan Islam dan selalu menggunakan pendekatan ilmiah dan logis. Diantara Buku ini mendapat pujian dari Muhammad Iqbal. Ditulisnya pada usia sekitar 27 tahun. Karya tulisnya yang lain adalah Risalat Diniyat (1932) yang berisi tentang pokok-pokok ajaran Islam yang telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa (1979). (Ensiklopedi,1993:732)
Mulai sejak pertengahan tahun 30-an ia telah menulis tentang isu-isu politik dan cultural muslim India, dan berusaha melihatnya dari perspektif Islam yang lebih dari sekedar kepentingan politik dan ekonomi semata. Mengkritik ideology-ideologi baru yang mempengaruhi umat Islam seperti tentang nasionalisme. Dan pikiran-pikirannya itu disampaikannya melalui majalah Tarjaman al-Qur’an pada waktu itu (1933). Akan tetapi kemudian ia meninggalkan Hyderabad dan menetap di Punjab atas undangan Muhammad Iqbal. Ia mendirikan pusat riset dan akademi bernama Darul Islam bersama Iqbal yang bertujuan melatih sarjana-sarjana yang berkualitas dan menyusun kembali hukum Islam.
Sekitar tahun 1940 Maududi mengembangkan pikirannya untuk mendirikan organisasi yang komprehensip yaitu Jema’at Islami yang ia sendiri sebagai ketuanya sampai tahun 1972, pada waktu itu ia berhenti dengan alasan kesehatan.(Mukti Ali,1992:241) organisasi ini pada hakekatnya merupakan gerakan kader-kader Islam yang punya integritas dedikasi.
Ketika negara Pakistan lahir 1947, ia pindah ke Pakistan dan memusatkan perhatiannya untuk mendirikan negara Islam yang sebenarnya.
Untuk hal ini ia banyak melakukan kritikan terhadap kebijaksanaan pemerintah dan mengatakan bahwa orang-orang yang telah berkuasa gagal mengubah Pakistan menjadi negara Islam yang sebenarnya.  Tentu saja penguasa memberikan reaksi yang keras, sehingga Maududi sering dipenjara, namun ia tetap mengkritik dan menunjukkan kekerasan kemauannya (Amin Rais dalam Kata Pengantarnya,1994:9)
Pada tahun 1953 ia dijatuhi hukuman mati atas tuduhan subversif.  Akan tetapi ia tidak mau mengajukan grasi dan memilih hukuman mati itu daripada minta ampun kepada orang-orang yang tidak adil.  Dengan keteguhan hatinya ia berkata kepada anak-anak dan koleganya “mati adalah ditangan Tuhan, apabila saatnya tiba tidak akan ada orang yang dapat menghalangi, dan kalau saat itu belum tiba maka mereka tidak akan dapat membawaku ke tiang gantungan sekalipun mereka menggantung dirinya sendiri”. Keteguhan pendiriannya mengguncangkan pemerintah , karena tekanan dari dalam dan luar negeri yang menentang putusan itu, kemudian mengubahnya dengan hukuman seumur hidup.(Amin Rais,1984:10).
Pengaruh Maududi dapat langsung dirasakan oleh ulama-ulama dan telah menggerakan semangat kebangunan Islam di dunia muslim. Tulisannya banyak dibaca orang. Beliau juga diundang untuk memberi kuliah keberbagai pusat kajian Islam di luar negeri, seperti New York,London,Timur Tengah dan lain sebagainya.  Dia juga salah seorang tokoh pendiri Rabithah Alam Al-Islami yang berpusat di Mekkah.  Dia sangat terkenal, terus menerus aktif dan vokal dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya serta mempunyai wawasan-wawasan yang segar.  Meninggal dunia pada tanggal 23 September 1979.(Ensiklopedia, 1993: 735)

B.     Pemikiran Al-Maududi: Teori Politik Islam
Maududi memandang bahwa pemimpin Pakistan tidak dengan jujur mau melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan negara yang didirikan atas nama Islam itu. Dia memang mempunyai konsepsi yang jelas tentang negara Islam yang tidak dimiliki pemikir lain pada saat Pakistan didirikan. Dia mengataka bahwa sudah menjadi kebiasaan dikalangan orang-orang tertentu mengidentikan Islam dengan salah satu sistem politik yang sudah menjadi model pada masanya, seperti yang mengatakan Islam itu adalah suatu sistem demokrasi, antara Islam dengan demokrasi yang ada di Barat sama sekali tidak ada perbedaannya.
Sementara yang lain berpendapat bahwa komunisme tidak lain adalah Islam, dan karenanya sudah selayaknya orang Islam mau mengikuti pengalaman komunis di Rusia. Kemudian ada juga yang berprasangka bahwa dalam Isalm terdapat unsur-unsur kediktatoran. Semua anggapan itu adalah kesalahpahaman, beranjak dari kebingungan dan kedangkalan. Mereka belum pernah melakukan kajian sistematis mengenai tatanan politik Islam. Mereka beranjak dari sikap rendah diri. Hal semacam ini sebenarnya telah melakukan kobohongan terhadap Islam. (Esposito, 1993 : 464-465)
1.      Azas  Politik  Islam
a.      Negara Ideologi
Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Oleh karenanya, dalam bernegara umat Islam tidak perlu meniru sistem Barat, cukup kembali kepada sistem Islam dengan menunjuk kepada pola politik sesama Khulafa Urrasyidin. Maududi beranjak dari konsepnya tentang Tuhan (Tauhid). Tidak ada yang menyerupai Tuhan sebagai pencipta dan pengatur. Tak seorang pun yang berhak mengatakan berlakunya suatu aturan atau mengeluarkan perintah atas kemauannya sendiri dan tidak ada keharusan untuk tunduk pada aturan-aturan seperti itu. Hanya Allah lah yang menetapkan hukum. Kepercayaan itulah yang merupakan titik awal dar filsafat politik dalam Islam. Syahadat merupakan deklarasai moral sebagai penyerahan total dan ketundukan.

b.      Kedaulatan Tuhan
Kedaulatan adalah milik Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang memaksakan kehendak atau kata-katanya kepada makhluk lain. Hal itu merupakan hak yang khusus milik Tuhan sendiri. (Maududi, 1995 : 239). Berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya, yang mengatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

c.       Negara Universal
Negara Islam adalah negara yang universal, mencakup semua aspek kehidupan seluruh warga dan seluruh manusia secara universal di dunia ini. Karena Islam tidak mengenal ikatan rasial dan nasional, tidak membedakan bahasa, warna kulit, dan perbedaan geografis.
Negara yang universal seperti yang disebutkan jelas tidak dapat dibatasi kegiatan-kegiatannya, karena mencakup umat manusia secara keseluruhan. Kegiatan itu harus sesuai dengan nilai moral dan rencana perubahan sosial yang dicanangkan Islam. Dalam negara seperti ini tak seorangpun dapat menganggap persoalan hidupnya sebagai persoalan pribadi.
Islam secara mutlak bertentangan dnegan nasionalisme. Islam berbicara tentang sistem kemasyarakatan yang adil dan luhur yang dilandasi oleh agama dan moral. Barang siapa yang menerima sistem Islam ini diakui sebagai muslim dan mendapatkan hak-haknya tanpa dibeda-bedakan menurut bangsa, ras, kelas, dan negaranya. Ikatan rasial dan nasional lebur menjadi salah satu dalam kesatuan sistem budaya dan politik. Persaingan yang bernada pemusuhan akan musnah dan sebagai gantinya akan terwujud kerjasama yang penuh nilai moral. 
Berbeda dengan nasionalisme yang membagi manusia atas dasar bangsanya.  Penganutnya lebih mementingkan bangsanya, berbuat untuknya sampai batas maksimal dan menanamkan rasa bangga atasnya.  Tujuan akhir bagi seorang nasionalis adalah negara nasional bukan word state.(Esposito, 1993: 159)
Syariat Islam selamanya bertujuan mengajak manusia kepada kerangka kerja moral dan spiritual, saling tolong dalam lingkup yang universal.  Setiap individu memperoleh kesempatan yang sepenuhnya untuk mengembangkan kemampuan menuju kemajuan kolektif.
Lebih dari itu nasionalisme lebih membuat orang jadi oportunis tanpa punya prinsip yang mengikat tingkah laku dengan hukum-hukum yang abadi yang hanya mengharapkan sesuatu bagi bangsanya. Jika syariat bertentangan dengan kemauan bangsanya, ia akan menentang syariat tersebut.

2.      Negara  Islam
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa islam dilihat dari sudut pandang filsafat politik sangat berlawanan ddengan demokrasi barat yang sekuler. Landasan demokrasi barat adalah kedaulatan rakyat, dimana kekuasaan mutlak berada dibadan legislative. Apapun kehendak kebanyakan rakyat akan menjadi hukum, walaupun bertentangan dengan agama, seperti yang terjadi dii barat. (Maududi,  1995  : 158-159)
Nama yang lebih cocok untuk politik islam ini adalah “kerajaan Tuhan” (Kingdom of God) yang dalam bahasa politik disebut  teorasi. Tetapi teokrasi islam berbeda dengan yang pernah jaya dieropa dimana kelompok pendeta melakukan dominasi tak terhingga dan menegakan hukum-hukumnya sendiri atas nama tuhan, dan akhirnya memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. System seperti ini justru lebih bersifat syithanniyah daripada ilahiayah. Teokrasi yang dibangun islam tidaklah dikuasai oleh suatu kelompok kecuali oleh seluruh kelompok masyarakat. Negara seperti ini dapat disebut dengan istilah baru, yakni teo demokrasi, demokrasi ilahi, karena dibawah lindungan dan pengawasan tuhan. Manusia diberi kedaulatan yang terbatas. Segala masalah yang tidak di atur oleh syariat diselesaikan oleh mufakat bulat dan consensus muslimin ( Maududi, 1995 : 159-160 ) dengan demikian politik islam disebut juga demokrasi tetapi juga teokrasi dalam arti apabila terdapat hukum yang jelas dari tuhan, maka tak seorang pun dapat mengubahnya walaupun badan legislative. Hal ini bukanlah untuk merampas hak manusia tetapi untuk menjaga dan melindungi hak itu sendiri. Berbeda dengan demokrasi sekuler, dimana agama tidak berfungsi dan dipisahkan dari kehidupan politik. Disamping hal diatas terbukti bahwa manusia tidak akan mampu merumuskan kepentingan-kepentingannya sendiri. Sebagai contohnya ketentuan hukum yang dibuat oleh badan legislatif Amerika tentang Prohibition ( 1995 : 162 )
Hal ini karena Allah telah meletakan batas-batas terhadap kebebasan manusia. Batas – batas ini terdiri atas beberapa prinsip, Check and balances tertentu agar manusia dapat terbina untuk mempelopori kehidupan yang seimbang dan moderat. Hal ini dapat kita lihat contonya dalam beberapa ketentuan Allah dalam bidang memenuhi kebutuhan, kehidupan keluarga dan lain-lain. Oleh karena itu kapanpun Negara Islam berdiri maka undang-undang dasarnya dibentuk dan akan menjadi sumber dari segala sumber hukum. Setiap orang yang ingin tetap menjadi muslim berkewajiban sumber hukum dari sumber Negara islam itu. ( 1995 : 163 )
Menurut Maududi, badan eksekutif dipilih oleh umat islam dengan suara terbanyak dengan syarat supaya jangan dipilih orang yang mencalonkan diri dan tidak dibenarkan kampanye. Kekuasaan Negara islam terdiri atas badan Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif. Anggota syura dan badan Legislatif tidak dibolehkan berkelompok-kelompok atau partai. Badan yudikatif adalah lembaga yang mandiri, tidak dikuasai oleh badan eksekutif, sehingga tidak ada perbedaan seluruh warga dimata hukum. ( Sjadzali, 1993 : 166 )

3.      Tujuan Negara Islam
Tujuan Negara islam yang dapat dibentuk berdasarkan Al-Qur’an dan al-Sunnah telah dituangkan Allah dalam Al-Qur’an : 57 : 25. Dalam ayat itu Allah menyebutkan tentang perlunya menciptakan kondisi masyarakat yang terjamin keadilan sosialnya yang harus ditegakan agar masyarakat manusia dapat berdiri seutuhnya. Kemudian menyebutkan besi untuk dijadikan alat yakni sebagai lambang kekuasaan politik.
“orang-orang muslim  itu adalah mereka yang jika kami beri kedudukan kuat dimuka bumi, akan mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat kebajikan dan melarang berbuat ketidakadilan”. (QS. 22 : 41)
Dari ayat diatas jelaslah bahwa tujuan Negara yang dimaksud oleh Al-Qur’an tidaklah negatif, tidak hanya mencegah rakyat untuk saling memeras, melindungi seluruh bangsa dari invasi asing dan mengembangkan system keadilan. Untuk tujuan ini kekuasaan politik akan digunakan bbila diperlukan. Pendidikan moral rakyat akan dilaksanakan. (Maududi, 1995 ; 165-166).

 III.            PENUTUP
Pada dasarnya ada empat hal pokok yang diperjuangkan oleh maududi khususnya dalam mewujudkan Pakistan sebagai Negara islam. Yang pertama kedaulatan adalah ditangan Allah, oleh karenanya pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan tidak boleh melampaui batas yang ditentukan oleh Allah, karena itu tauhid adalah ideology Negara. Yang kedua syariat islam merupakan  hukum dasar bagi Negara. Yang ketiga pembatalan semua undang-undang yang ada dan bertentangan dengan syariat islam. Yang keempat pemerintah harus mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat islam.
Negara Republik Pakistan yang lahir tidak sesuai dengan cara yang didambakan oleh Maududi itu. Ia tidak banyak berhasil meyakinkan tokoh-tokoh politik Pakistan yang terdiri dari pemimpin-pemimpin Liga Muslimin yang memang kebanyakan berpendidikan Barat.
Banyak para ahli hukum islam yang melakukan kritikan terhadap landasan dan konsep-konsep kenegaraan yang dikemukakan oleh Maududi. Namun terlepas dari hal itu, harus diakui bahwa konsep yang dibawa oleh Maududi sangat besar artinya bagi perkembangan pemikiran masyarakat islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar