SAYYID ABUL A’LA AL-MAUDUDI
I.
Pendahuluan
Salah seorang pemikir Islam modern ,
Al-Maududi, muncul dengan gagasan-gagasan yang sangat besar andilnya bagi
perkembangan masyarakat Islam. Beliau
terkenal dengan ide-ide dan pikiran-pikirannya tentang kenegaraan. Di
saat orang-orang Islam bingung untuk mencari pemecahan persoalan “bagaimanakah
bentuk negara Islam sebenarnya?”. Di saat itu ia tampil dengan meletakkan
dasar-dasar negara dan bentuk negara yang ideal menurut al-Qur’an dan
al-Sunnah. Negara haruslah berideologi tauhid, atas kedaulatan Tuhan dan system
yang universal. Kemudian di saat orang-orang berselisih paham dalam
mentransformasi hasil perkembangan modern di dunia barat, sebagian mengagung-agungkan
demokrasi Barat dan menunjukkan bahwa demokrasi seperti itulah yang cocok
menurut Islam, sementara sebagian yang lain memandang bahwa system teokrasi di
Eropa adalah cerminan Islam. Di dalam kebingungan-kebingungan tersebut,
al-Maududi menawarkan system negara Islam dengan istilahnya yang baru yakni
teodemokrasi dan teokrasi Islam serta konsep-konsepnya yang cukup lengkap
tentang negara.
Untuk membahas masalah ini sebenarnya
tidak bisa terlepas dari dinamika masyarakat Pakistan ketika itu. Sehubungan
dengan berdirinya negara Pakistan adalah karena keinginan kelompok masyarakat
muslim yang ingin berpisah dengan komunitas Hindu. Dengan demikian sudah barang
tentu masyarakat muslim tersebut menginginkan bagaimana bentuk negara Islam
yang ideal.(Mukti Ali,1992:48)
Di dalam makalah ini akan dibahas
tentang al-Maududi yang meliputi riwayat hidupnya dan menjelaskan pokok-pokok
pemikirannya tentang negara Islam yang diambil dari buku-bukunya.
II.
Pembahasan
A.
Riwayat
Hidupnya
Sayyid
Abul A’la al-Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 M di Aurangabad,
sekarang dikenal dengan Andhra Pradea di India dilahirkan dari keluarga
terhormat, nenek moyangnya berasal dari keluarga Nabi saw. Karena itulah ia
memakai nama ‘Sayyid’. Nenek moyangnya adalah syekh-syekh tarekat yang
terkenal. Ayahnya bernama Ahmad Hasan seorang ahli hukum yang taat. Maududi
adalah yang paling kecil dari tiga bersaudara, mendapatkan pendidikan langsung
dari ayahnya dan kemudian masuk pada sekolah Fawqaniyah yang menggabungkan
pendidikan barat modern dengan pendidikan Islam tradisional sampai ia
menyelesaikan dan melanjutkan ke perguruan tinggi Darul Ulum di Hyderabad,
tetapi kemudian terhenti karena Bapaknya sakit lalu meninggal. Walaupun secara
formal terhenti, namun ia tetap belajar dengan otodidak. Danpada awal 1920-an
ia telah menguasai bahasa Arab, Persia, Inggris, dan Urdu sebagai bahasa
ibunya. Dengan modal bahasa dan petunjuk sistematis dari gurunya ia dapat
menguasai ilmu agama yang mendalam dan intelektual yang tangguh.(1992:238-239)
Sejak muda maududi sudah menekuni
bidang jurnalisme, menulis artikel-artikel pada surat kabar Urdu yang
terkemuka. Pada usia 17 tahun ia sudah diangkat jadi editor surat kabar Taj
dari Jabalpore yang sekarang kotamadya Pradesh di India. Pada akhir 1920 ia
dating ke Delhi dan pertama-tama memimpin surat kabar muslim (1921-1923),
kemudian al-Jam’iyyat (1925-1928), dan memimpin surat kabar yang didirikan oleh
perhimpunan ulama India,al-Jam’iyyat yang menjadi surat kabar terkemuka di
India pada saat itu.
Minatnya
pada bidang politik juga tumbuh pada sekitar tahun 20-an, sehingga banyak
terlibat dalam gerakan oposisi terhadap pemerintahan Inggris padda saat itu.
Kemampuan Maududi dalam berbagai
ilmu agama dan pengetahuan modern yang ditopang oleh keahlian jurnalistik yang
tinggi mengantarkannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Karangannya
mencakup berbagai bidang, seperti tafsir, hadis, hukum, filsafat, dan sejarah.
Isi karangannya selalu membicarakan masalah yang dihadapi umat Islam, terutama
di bidang politik Ia berusaha memecahkan problem umat dengan konsep-konsep yang
relevan dengan Islam dan selalu menggunakan pendekatan ilmiah dan logis.
Diantara Buku ini mendapat pujian dari Muhammad Iqbal. Ditulisnya pada usia
sekitar 27 tahun. Karya tulisnya yang lain adalah Risalat Diniyat (1932) yang berisi tentang pokok-pokok ajaran Islam
yang telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa (1979). (Ensiklopedi,1993:732)
Mulai
sejak pertengahan tahun 30-an ia telah menulis tentang isu-isu politik dan
cultural muslim India, dan berusaha melihatnya dari perspektif Islam yang lebih
dari sekedar kepentingan politik dan ekonomi semata. Mengkritik
ideology-ideologi baru yang mempengaruhi umat Islam seperti tentang
nasionalisme. Dan pikiran-pikirannya itu disampaikannya melalui majalah Tarjaman al-Qur’an pada waktu itu
(1933). Akan tetapi kemudian ia meninggalkan Hyderabad dan menetap di Punjab
atas undangan Muhammad Iqbal. Ia mendirikan pusat riset dan akademi bernama Darul Islam bersama Iqbal yang bertujuan
melatih sarjana-sarjana yang berkualitas dan menyusun kembali hukum Islam.
Sekitar
tahun 1940 Maududi mengembangkan pikirannya untuk mendirikan organisasi yang
komprehensip yaitu Jema’at Islami yang
ia sendiri sebagai ketuanya sampai tahun 1972, pada waktu itu ia berhenti dengan
alasan kesehatan.(Mukti Ali,1992:241) organisasi ini pada hakekatnya merupakan
gerakan kader-kader Islam yang punya integritas dedikasi.
Ketika
negara Pakistan lahir 1947, ia pindah ke Pakistan dan memusatkan perhatiannya
untuk mendirikan negara Islam yang sebenarnya.
Untuk hal ini ia banyak melakukan kritikan terhadap kebijaksanaan
pemerintah dan mengatakan bahwa orang-orang yang telah berkuasa gagal mengubah
Pakistan menjadi negara Islam yang sebenarnya.
Tentu saja penguasa memberikan reaksi yang keras, sehingga Maududi
sering dipenjara, namun ia tetap mengkritik dan menunjukkan kekerasan
kemauannya (Amin Rais dalam Kata Pengantarnya,1994:9)
Pada tahun 1953 ia dijatuhi hukuman mati atas tuduhan
subversif. Akan tetapi ia tidak mau
mengajukan grasi dan memilih hukuman mati itu daripada minta ampun kepada
orang-orang yang tidak adil. Dengan
keteguhan hatinya ia berkata kepada anak-anak dan koleganya “mati adalah
ditangan Tuhan, apabila saatnya tiba tidak akan ada orang yang dapat
menghalangi, dan kalau saat itu belum tiba maka mereka tidak akan dapat
membawaku ke tiang gantungan sekalipun mereka menggantung dirinya sendiri”.
Keteguhan pendiriannya mengguncangkan pemerintah , karena tekanan dari dalam
dan luar negeri yang menentang putusan itu, kemudian mengubahnya dengan hukuman
seumur hidup.(Amin Rais,1984:10).
Pengaruh
Maududi dapat langsung dirasakan oleh ulama-ulama dan telah menggerakan
semangat kebangunan Islam di dunia muslim. Tulisannya banyak dibaca orang.
Beliau juga diundang untuk memberi kuliah keberbagai pusat kajian Islam di luar
negeri, seperti New York,London,Timur Tengah dan lain sebagainya. Dia juga salah seorang tokoh pendiri Rabithah
Alam Al-Islami yang berpusat di Mekkah.
Dia sangat terkenal, terus menerus aktif dan vokal dalam mengemukakan
pemikiran-pemikirannya serta mempunyai wawasan-wawasan yang segar. Meninggal dunia pada tanggal 23 September
1979.(Ensiklopedia, 1993: 735)
B.
Pemikiran Al-Maududi: Teori Politik Islam
Maududi memandang bahwa pemimpin Pakistan tidak dengan jujur mau
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan negara yang didirikan atas nama Islam
itu. Dia memang mempunyai konsepsi yang jelas tentang negara Islam yang tidak
dimiliki pemikir lain pada saat Pakistan didirikan. Dia mengataka bahwa sudah
menjadi kebiasaan dikalangan orang-orang tertentu mengidentikan Islam dengan
salah satu sistem politik yang sudah menjadi model pada masanya, seperti yang
mengatakan Islam itu adalah suatu sistem demokrasi, antara Islam dengan
demokrasi yang ada di Barat sama sekali tidak ada perbedaannya.
Sementara yang
lain berpendapat bahwa komunisme tidak lain adalah Islam, dan karenanya sudah
selayaknya orang Islam mau mengikuti pengalaman komunis di Rusia. Kemudian ada
juga yang berprasangka bahwa dalam Isalm terdapat unsur-unsur kediktatoran.
Semua anggapan itu adalah kesalahpahaman, beranjak dari kebingungan dan
kedangkalan. Mereka belum pernah melakukan kajian sistematis mengenai tatanan
politik Islam. Mereka beranjak dari sikap rendah diri. Hal semacam ini
sebenarnya telah melakukan kobohongan terhadap Islam. (Esposito, 1993 :
464-465)
1.
Azas
Politik Islam
a.
Negara Ideologi
Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk
untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Oleh
karenanya, dalam bernegara umat Islam tidak perlu meniru sistem Barat, cukup
kembali kepada sistem Islam dengan menunjuk kepada pola politik sesama Khulafa
Urrasyidin. Maududi beranjak dari konsepnya tentang Tuhan (Tauhid). Tidak ada
yang menyerupai Tuhan sebagai pencipta dan pengatur. Tak seorang pun yang
berhak mengatakan berlakunya suatu aturan atau mengeluarkan perintah atas
kemauannya sendiri dan tidak ada keharusan untuk tunduk pada aturan-aturan
seperti itu. Hanya Allah lah yang menetapkan hukum. Kepercayaan itulah yang
merupakan titik awal dar filsafat politik dalam Islam. Syahadat merupakan
deklarasai moral sebagai penyerahan total dan ketundukan.
b.
Kedaulatan Tuhan
Kedaulatan adalah milik Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang
memaksakan kehendak atau kata-katanya kepada makhluk lain. Hal itu merupakan
hak yang khusus milik Tuhan sendiri. (Maududi, 1995 : 239). Berbeda dengan
teori demokrasi pada umumnya, yang mengatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat.
c.
Negara Universal
Negara Islam adalah negara yang universal, mencakup semua aspek
kehidupan seluruh warga dan seluruh manusia secara universal di dunia ini.
Karena Islam tidak mengenal ikatan rasial dan nasional, tidak membedakan
bahasa, warna kulit, dan perbedaan geografis.
Negara yang universal seperti yang disebutkan jelas tidak dapat
dibatasi kegiatan-kegiatannya, karena mencakup umat manusia secara keseluruhan.
Kegiatan itu harus sesuai dengan nilai moral dan rencana perubahan sosial yang
dicanangkan Islam. Dalam negara seperti ini tak seorangpun dapat menganggap
persoalan hidupnya sebagai persoalan pribadi.
Islam secara mutlak bertentangan dnegan nasionalisme. Islam
berbicara tentang sistem kemasyarakatan yang adil dan luhur yang dilandasi oleh
agama dan moral. Barang siapa yang menerima sistem Islam ini diakui sebagai
muslim dan mendapatkan hak-haknya tanpa dibeda-bedakan menurut bangsa, ras,
kelas, dan negaranya. Ikatan rasial dan nasional lebur menjadi salah satu dalam
kesatuan sistem budaya dan politik. Persaingan yang bernada pemusuhan akan
musnah dan sebagai gantinya akan terwujud kerjasama yang penuh nilai
moral.
Berbeda
dengan nasionalisme yang membagi manusia atas dasar bangsanya. Penganutnya lebih mementingkan bangsanya,
berbuat untuknya sampai batas maksimal dan menanamkan rasa bangga atasnya. Tujuan akhir bagi seorang nasionalis adalah
negara nasional bukan word state.(Esposito, 1993: 159)
Syariat
Islam selamanya bertujuan mengajak manusia kepada kerangka kerja moral dan
spiritual, saling tolong dalam lingkup yang universal. Setiap individu memperoleh kesempatan yang
sepenuhnya untuk mengembangkan kemampuan menuju kemajuan kolektif.
Lebih
dari itu nasionalisme lebih membuat orang jadi oportunis tanpa punya prinsip
yang mengikat tingkah laku dengan hukum-hukum yang abadi yang hanya
mengharapkan sesuatu bagi bangsanya. Jika syariat bertentangan dengan kemauan
bangsanya, ia akan menentang syariat tersebut.
2.
Negara Islam
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa islam dilihat dari sudut
pandang filsafat politik sangat berlawanan ddengan demokrasi barat yang
sekuler. Landasan demokrasi barat adalah kedaulatan rakyat, dimana kekuasaan
mutlak berada dibadan legislative. Apapun kehendak kebanyakan rakyat akan
menjadi hukum, walaupun bertentangan dengan agama, seperti yang terjadi dii
barat. (Maududi, 1995 : 158-159)
Nama yang lebih cocok untuk politik islam ini adalah “kerajaan
Tuhan” (Kingdom of God) yang dalam bahasa politik disebut teorasi. Tetapi teokrasi islam berbeda dengan
yang pernah jaya dieropa dimana kelompok pendeta melakukan dominasi tak
terhingga dan menegakan hukum-hukumnya sendiri atas nama tuhan, dan akhirnya
memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. System seperti
ini justru lebih bersifat syithanniyah daripada ilahiayah. Teokrasi yang
dibangun islam tidaklah dikuasai oleh suatu kelompok kecuali oleh seluruh
kelompok masyarakat. Negara seperti ini dapat disebut dengan istilah baru,
yakni teo demokrasi, demokrasi ilahi, karena dibawah lindungan dan pengawasan
tuhan. Manusia diberi kedaulatan yang terbatas. Segala masalah yang tidak di
atur oleh syariat diselesaikan oleh mufakat bulat dan consensus muslimin (
Maududi, 1995 : 159-160 ) dengan demikian politik islam disebut juga demokrasi
tetapi juga teokrasi dalam arti apabila terdapat hukum yang jelas dari tuhan,
maka tak seorang pun dapat mengubahnya walaupun badan legislative. Hal ini
bukanlah untuk merampas hak manusia tetapi untuk menjaga dan melindungi hak itu
sendiri. Berbeda dengan demokrasi sekuler, dimana agama tidak berfungsi dan
dipisahkan dari kehidupan politik. Disamping hal diatas terbukti bahwa manusia
tidak akan mampu merumuskan kepentingan-kepentingannya sendiri. Sebagai
contohnya ketentuan hukum yang dibuat oleh badan legislatif Amerika tentang
Prohibition ( 1995 : 162 )
Hal ini karena Allah telah meletakan batas-batas terhadap kebebasan
manusia. Batas – batas ini terdiri atas beberapa prinsip, Check and balances
tertentu agar manusia dapat terbina untuk mempelopori kehidupan yang
seimbang dan moderat. Hal ini dapat kita lihat contonya dalam beberapa
ketentuan Allah dalam bidang memenuhi kebutuhan, kehidupan keluarga dan
lain-lain. Oleh karena itu kapanpun Negara Islam berdiri maka undang-undang
dasarnya dibentuk dan akan menjadi sumber dari segala sumber hukum. Setiap
orang yang ingin tetap menjadi muslim berkewajiban sumber hukum dari sumber
Negara islam itu. ( 1995 : 163 )
Menurut Maududi, badan eksekutif dipilih oleh umat islam dengan
suara terbanyak dengan syarat supaya jangan dipilih orang yang mencalonkan diri
dan tidak dibenarkan kampanye. Kekuasaan Negara islam terdiri atas badan
Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif. Anggota syura dan badan Legislatif tidak
dibolehkan berkelompok-kelompok atau partai. Badan yudikatif adalah lembaga yang
mandiri, tidak dikuasai oleh badan eksekutif, sehingga tidak ada perbedaan
seluruh warga dimata hukum. ( Sjadzali, 1993 : 166 )
3.
Tujuan Negara Islam
Tujuan Negara islam yang dapat dibentuk berdasarkan Al-Qur’an dan
al-Sunnah telah dituangkan Allah dalam Al-Qur’an : 57 : 25. Dalam ayat itu
Allah menyebutkan tentang perlunya menciptakan kondisi masyarakat yang terjamin
keadilan sosialnya yang harus ditegakan agar masyarakat manusia dapat berdiri
seutuhnya. Kemudian menyebutkan besi untuk dijadikan alat yakni sebagai lambang
kekuasaan politik.
“orang-orang muslim itu
adalah mereka yang jika kami beri kedudukan kuat dimuka bumi, akan mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat kebajikan dan melarang berbuat
ketidakadilan”. (QS. 22 : 41)
Dari ayat diatas jelaslah bahwa tujuan Negara yang dimaksud oleh
Al-Qur’an tidaklah negatif, tidak hanya mencegah rakyat untuk saling memeras,
melindungi seluruh bangsa dari invasi asing dan mengembangkan system keadilan.
Untuk tujuan ini kekuasaan politik akan digunakan bbila diperlukan. Pendidikan
moral rakyat akan dilaksanakan. (Maududi, 1995 ; 165-166).
III.
PENUTUP
Pada dasarnya
ada empat hal pokok yang diperjuangkan oleh maududi khususnya dalam mewujudkan
Pakistan sebagai Negara islam. Yang pertama kedaulatan adalah ditangan Allah,
oleh karenanya pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan tidak boleh melampaui
batas yang ditentukan oleh Allah, karena itu tauhid adalah ideology Negara.
Yang kedua syariat islam merupakan hukum
dasar bagi Negara. Yang ketiga pembatalan semua undang-undang yang ada dan
bertentangan dengan syariat islam. Yang keempat pemerintah harus mempergunakan
kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat
islam.
Negara Republik
Pakistan yang lahir tidak sesuai dengan cara yang didambakan oleh Maududi itu.
Ia tidak banyak berhasil meyakinkan tokoh-tokoh politik Pakistan yang terdiri
dari pemimpin-pemimpin Liga Muslimin yang memang kebanyakan berpendidikan
Barat.
Banyak para
ahli hukum islam yang melakukan kritikan terhadap landasan dan konsep-konsep
kenegaraan yang dikemukakan oleh Maududi. Namun terlepas dari hal itu, harus
diakui bahwa konsep yang dibawa oleh Maududi sangat besar artinya bagi
perkembangan pemikiran masyarakat islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar