ZAKAT PERDAGANGAN
A.
Pendahuluan
Ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk melakukan aktivitas
jual beli. Peran perdagangan sangat
penting dalam menghidupkan sirkulasi hasil-hasil industri, pertanian, jasa dan
harta kekayaan lainnya menuju keseimbangan laju perekonomian manusia dalam
pasar barang dan uang. Rasulullah SAW
sendiri sebagaimana yang diungkapkan barbagai literatur sejarah, berlaku
sebagai the role model dengan telah menjadi pedagang internasional pada usia 37
tahun.
Fenomena yang ada meunjukkan ketertinggalan umat Islam dalam
pencapaian keberhasilan dagang. Padahal
secara teoritis, kewajiban zakat pada komoditas perdagangan dapat merangsang
aktifitas produksi dan investasi, ditandai dengan pola penyaluran dana zakat
belakangan ini yang sudah mulai merambah pola-pola produktif. Dengan begitu
baik dilihat dari sudut pandang muzaki maupun mustahik zakat adalah sebuah
instrumen yang mempertemukan antara kreditor dan debitor, hanya saja polanya
lebih elegan mengingat pemindahan sejumlah aset dari investor kepada pihak
debitor dilegalkan secara syari’ah.
Dengan perkembangan
aktivitas perdagangan yang telah jauh berbeda denga yang terjadi di masa
kenabian, penulis mencoba untuk mengakomodasi semua bentuk aktivitas
perdagangan yang tercakup dalam ruang lingkup aset wajib zakat perdagangan.
Satu hal yang perlu dipahami adalah pengertian zakat komoditas
perdagangan dalam sub bab ini dikhususkan untuk usaha dagang yang dilakukan
oleh perorangan dan tidak untuk perusahaan atau hasil industri sebuah perushaan. Hal ini dikarenakan dengan pertimbangan bahwa
aktivitas sebuah perusahaan biasnya lebih kompleks ketimbang aktivitas dagang
perseorangan. Selain itu, kedetailan
cara berhitung zakat perusahaan juga harus memperhatikan sistem pelaporan
keungan yag digunakan oleh sebuah perusahaan (neraca), yang biasanya tidak
menjadi unsur kerja dari bentuk usaha perorangan.
Dalam bab ini penulis akan memaparkan apa saja yang terhitung
sebagai aset wajib zakat kategori komoditas perdagangan, apa syarat dan berapa
besaran nasabnya dan bagaimana cara menghitungnya.
B.
Pengertian
Harta Perdagangan
Harta
perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk menjalankan
perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh
keuntungan. Harta perdagangan meliputi
makanan, pakaian, kendaraan, barang-barang industri, hewan, barang-barang
tambang, tanah, bangunan, dan lain-lain, yang bisa diperjualbelikan[1]
Barang
dagangan di sini adalah yang bukan emas dan perak, baik yang di cetak, seperti
uang Pound dan Riyal, maupun yang tidak dicetak, seperti perhiasan wanita. Tiga imam mazhab sepakat bahwa emas dan perak
mutlak tidak termasuk dalam barang dagangan.
Malikiyah tidak sependapat dalam masalah (emas/perak) yang tidak
dicetak. Menurut mereka bila emas dan
perak itu tidak dicetak, maka keduanya termasuk barang dagangan.[2]
‘Urudh
ialah bentuk jamak dari kata ‘aradh, artinya, harta dunia yang tidak
kekal. Kata ini juga bisa dipandang
sebagai bentuk jamak dari kata ‘ardh artinya barang selain emas dan perak, baik
berupa benda, rumah tempat tinggal, jenis-jenis binatang, tanaman,pakaian,
maupun barang yang lainnya yang disediakan untuk perdagangan. Termasuk kategori ini, menurut mazhab Maliki,
ialah perhiasan yang diperdagangkan.
Rumah
yang diperjualbelikan oleh pemiliknya, hukumnya sama dengan barang-barang
perdagangan. Adapun rumah yang didiami
oleh pemiliknya atau dijadikan sebagai tempat bekerja, seperti tempat dagang
atau tempat perusahaan, tidak wajib dizakati.[3]Harta
yang digunakan untuk perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya. Ini ditetapkan
tanpa ada perselisihan diantara sahabat.
C.
Landasan
Hukum Zakat Perdagangan
Ibn
al-Mundzir berkata, “para ahli ilmu sepakat bahwa dalam barang-barang yang
dimaksudkan sebagai barang-barang dagangan, zakatnya dikeluarkan ketika telah
mencapai hawl. Dalil mengenai pewajiban zakat perdagangan. Nabi saw bersabda
sebagai berikut, Allah swt berfirman dalam al-qur’an surah al-Baqarah ayat 267
yang artinya hai orang-orang yang beriman, nafkakanlah (di jalan Allah)
sebagian hasil usahamu yang baik-baik.
Menurut
Mujahid, ayat di atas diturunkan berkenaan dengan perdagangan. Nabi saw
bersabda sebagai berikut: “Dalam unta ada sedekahnya. Dalam sapi ada
sedekahnya. Dalam kambing ada sedekahnya. Dan dalam bazz juga ada sedekahnya”[4]
Abu
‘Amr bin Hammas meriwayatkan bahwa ayahnya berkata “saya pernah disuruh oleh
Umar. Dia mengatakan,”Tunaikanlah zakat hartamu.’aku menjawab,’aku tidak
mempunyai harta kecuali anak panah dan kulit. “Dia berkata lagi,’Hitunglah
hartamu itu, kamudian tunaikan zakatnya”.[5] Dari
Samurah bin Jundab berkata: “kemudian daripada itu, Rasulullah saw
memerintahkan kepada kami, untuk mengambil zakat dari semua yang kami maksudkan
untuk dijual” (HR. Abu daud). Dari Abi
Dzar, dari Nabi saw bersabda:”pada bahan pakaian wajib dikeluarkan zakatnya”
(HR. Daruquthni dan Baihaki)
D.
Syarat
Zakat Barang Dagangan
1.
Nisab.
Harga harta perdagangan harus telah mencapai nisab emas atau perak yang
dibentuk. Harga tersebut disesuaikan
dengan harga yang berlaku di setiap daerah.
2.
Hawl.
Harga harta dagangan, bukan harta itu sendiri, harus telah mencapai hawl,
terhitung sejak dimilikinya harta tersebut.
3.
Niat
melakukan perdagangan saat membeli barang-barang dagangan.
4.
Barang
dagangan dimiliki melalui pertukaran. Jumhur, selain madzhab Hanafi,
mensyaratkan agar barang-barang dagangan dimiliki melalui pertukaran, seperti
jual beli atau sewa menyewa
5.
Harta
dagangan tidak dimaksudkan sebagai qunyah (yakni sengaja dimanfaatkan oleh diri
sendiri dan tidak diperdagangkan).
6.
Pada
saat perjalanan hawl semua harta perdagangan tidak menjadi uang yang jumlahnya
kurang dari nisab. Hal ini merupakan syarat yang lain yang dikemukakan oleh
madzhab Syafi’i. Dengan demikian, jika semua harta perdagangan menjadi uang,
sedangkan jumlahnya tidak mencapai nisab, hawlnya terputus. Syarat ini tidak
diisyaratkan oleh madzhab-madzhab yang lain.
7.
Zakat
tidak berkaitan dengan barang dagangan itu sendiri. Hal ini dijadikan syarat
oleh madzhab Maliki. Dengan demikian, jika harta yang diperdagangkan berupa
hart-harta yang nisab dan zakatnya telah ada ketentuannya sendiri, seperti emas,
perak, binatang ternak dan harts, maka zakatnya wajib dikeluarkan seperti
halnya zakat emas dan perak, binatang ternak dan harts.[6]
8.
Si
muzaki harus menjadi pemilik komoditas yang diperjualbelikan baik
kepemilikannya itu diperoleh dari hasil usaha dagang maupun tidak, seperti
kepemilikan yang didapat dari warisanm hadiah, dan lain sebagainya.
E.
Nisab
Zakat Perdagangan
Zakat
yang wajib dikeluarkan dari harta perdagangan ialah seperempat puluh atau sama
dengan 2,5% harga barang dagangan. Mayoritas fuqaha sepakat bahwa nisabnya
adalah sepadan dengan nisab zakat aset keuangan, yaitu setara dengan 85 gram
emas atau 200 dirham perak. Penetapan nilai aset telah mencapai nisab ditentukan
pada akhir masa hawl[7]
Hal
ini disesuaikan dengan prinsip independensi tahun keuangan sebuah usaha. Adapun kondisi fluktuasi komoditas
perdagangan muzaki selama masa hawl tidak dijadikan bahan pertimbagan penetapan
tersebut. Selain itu, kategori zakat
komoditas perdagangan dihitung berdasarkan asas bebas dari semua tanggungan
keuangan, dengan demikian zakat tidak dapat dihitung kecuali pada waktu
tertentu yaitu pada akhir masa hawl.
Pada akhir masa hawl, tidak akan ada pengurangan lagi yang terjadi pada
aset pedagang yang diwajibkan membayar zakat (usaha telah memasuki tahun tutup
buku).
F.
Cara
Menghitung Zakat Perdagangan
Sumber
zakat komoditas perdagangan adalah modal kerja bersih yang dihitung pada akhir
masa haul dan ditambahkan dengan keuntungan dari hasil transaksi perdagangan
yang terjadi selama masa haul serta digabungkan aset lain yang didapat pada
saat melakukan aktivitas perdagangan namun tidak dihasilkan dari transaksi
perdagangan (pendapatan nondagang).[8]
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa adanya penambahan pada aset yang bukan dihasilkan dari
aktivitas perdagangan, seperti hibah, wasiat, warisan, hadiah pertambahan nilai
aset tetap dan lain-lain dianggap sebagai bagian dari sumber zakat komoditas
perdagangan.
Apabila
seseorang pedagang memulai perdagangannya dengan harta yang awalnya jauh
dibawah nishab zakat, kemudian diakhir haul mencapai nishab zakat,maka tidak
diwajibkan zakat atasnya. Ini karena
nishab yang telah dicapai belum genap satu tahun, sehingga zakat yang
diwajibkan kepadanya pada nishab tersebut baru berlaku setelah berjalan genap
satu tahun.
Apabila
seorang pedagang memulai perdagangannya dengan harta yang jumlahnya mencapai
nishab, misalnya memulai perdagangan dengan 1000 dinar. Kemudian diakhir tahun
perdagangannya berkembang dan memperoleh keuntungan, sehingga nilai harta
perdagangannya menjadi 3000 dinar, maka diwajibkan kepadanya mengeluarkan zakat
atas harta yang jumlahnya 3000 dinar, bukan atas harta yang jumlahnya 1000
dinar yang digunakan pada permulaan perdagangannya. Hal ini karena perkembangan hartanya itu
mengikuti modalnya yang 1000 dinar, dan haul atas keuntungannya telah tercapai
mengikuti haul atas modalnya. Jadi dihitung bersama-sama (digabung) dan
dikeluarkan zakatnya.
Apabila
haul telah sampai, seorang pedagang diwajibkan mengeluarkan zakat
perdagangannya berdasarkan jenis (yang wajib dizakatkan)nya seperti unta, sapi
dan kambing, atau tidak berdasarkan jenis yang diwajibkan zakatnya, seperti
pakaian dan barang-barang industri atau seperti tanah da bangunan. Semua itu
dihitung dengan standar yang sama dengan emas atau dengan perak.
Dikeluarkan
zakatnya dengan mata uang yang berlaku. Dan boleh dikeluarkan zakatnya berupa
mata uang yang beredar,jika hal itu memudahkannya. Begitulah, siapa saja yang
berdagang kambing, sapi, kain, maka ia wajib mengeluarkan zakat atas
barang-barang tadi, dalam bentuk uang. Bisa juga mengeluarkannya dalam bentuk
ternak, sapai, sapi, kain, yaitu berdasarkan pada barang yang
diperdagangkannya.
G.
Cara
Mengeluarkan Zakat Perdagangan Menurut Madzhab Maliki
Madzhab
Maliki berpendapat bahwa pedagang bisa merupakan seorang muhtakir atau mudir,
atau muhtakir sekaligus mudir.
1.
Muhtakir
ialah pedagang yang membeli barang-barang dagangannya, tetapi penjualannya
menunggu saat harganya telah naik/mahal. Dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya
sampai dia menjualnya. Dengan demikian, jika dia menjualnya setelah lewat
setahun atau beberapa tahun, dengan emas dan perak, maka dia harus menzakati
harganya untuk satu tahun. Jika hartanya masih tersisa, sisanya digabungkan
dengan barang-barang dagangan yang ada.
Pendapat diatas bertentangan dengan pendapat jumhur ulama selain
mazhab Maliki. Mereka berpendapat bahwa muhtakir harus mengeluarkan zakatnya
setiap tahun, meskipun dia belum menjual barang-barang dagangannya.
2.
Mudir
adalah orang yang berjual beli tanpa menunggu waktu tertentu, misalnya orang
yang selalu berjualan di pasar. Dalam setahun, pada setiap bulannya, dia harus
melihat nuqudnya dan menghitung barang-barang dagangannya. Barang-barang
dagangannya digabungkan dengan nuqudnya. Ketika telah mencapai nishab, dia
harus mengeluarkan zakat harta tersebut setelah utang-utangnya dilunasi kalau
memang dia mempunyai utang.
Seorang mudir harus
menghitung barang-barang dagangan yang di miliki olehnya, kendatipun
barang-barangnya tidak laku. Kemudian
dia menggabungkan barang-barang dagangannya dengan nuqud yang dimiliki. Setelah itu semuanya dizakati[9]
H.
Kesimpulan
Harta
perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk menjalankan
perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh
keuntungan. Zakat itu wajib pada harga dari barang dagangan itu sendiri. Ketika
diperhitungkan, hendaklah digabungkan antara satu barang dagangan dengan
lainnya sekalipun jenisnya berbeda, seperti pakaian dan tembaga sebagaimana
keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan itu juga digabungkan dengan asal
harta dagangan dalam masa satu tahun.
Ada beberapa
syarat barang dagangan yang wajib dizakati, antara lain barang tersebut telah
mencapai nishab, sudah masuk satu tahun (haul), barang tersebut dimiliki oleh
muzaki dan memang diniatkan untuk dizakati ketika membeli barang dagangan
tersebut. Besarnya nishab barang dagangan seperempat puluh atau 2,5% dari
keuntungan ditambah modal. Menurut Mazhab Maliki seorang pedagang bisa merupakan
seorang muhtakir atau mudir atau muhtakir sekaligus mudir.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri
Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab, Jakarta: Darul Ulum Press,2002
Al-Zuhayly
Wahbah,Zakat Kajian Berbagai Mazhab,Bandung
: Remaja Rosdakarya,2005
MufrainM. Arif i, Akuntansi dan
Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan,Jakarta:
Prenada Media Group,2008
Zallum Abdul Qadim, Sistem
Keuangan di Negara Khilafah, Bogor : Pustaka Thariqul Islam,2006
[1]Abdul
Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Bogor : Pustaka
Thariqul Islam,2006), hal. 207
[2]
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, (Jakarta: Darul Ulum
Press,2002), hal.130
[3]
Wahbah Al-Zuhayly,Zakat Kajian Berbagai
Mazhab,(Bandung : Remaja Rosdakarya,2005), hal. 163-164
[4]
Diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Da dengan sanad yang shahih, menurut
syarat-syarat periwayatan yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim
[5]Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Abu Ubayd
[6]Wahbah
Al- Zuhayly, Op. Cit., hal.164-168
[7]M.
Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan, (Jakarta: Prenada Media Group,2008), hal.64
[8]
Ibid, hal.65
[9]Wahbah
Al- Zuhayly, Op. Cit., hal.176-177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar