Selasa, 26 Juni 2012

pandangan islam terhadap euthanasia


PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG EUTHANASIA

A.      PENDAHULUAN
Sudah merupakan fitrah manusia selalu ingin hidup sehat, baik fisik maupun mental.  Namun keinginan manusia itu tidak selalu terpenuhi.  Dalam hidupnya manusia terkadang sakit atau menderita suatu penyakit.  Ada yang menderita suatu penyakit yang tergolong berat dan sukar, ada pula yang menderita suatu penyakit ringan dan mudah disembuhkan.  Dari penyakit-penyakit ini, baik berat maupun ringan dianjurkan oleh agama untuk mengobatinya, karena sebagai mana sabda Rasulullah SAW yang artinya “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan ia menurunkan pula obatnya”.[1]
Orang-orang yang menderita suatu penyakit yang berat, ada yang tabah dan sabar serta tidak berputus asa dalam menghadapinya disertai dengan usaha untuk menyembuhkannya.  Tidak sedikit pula yang tidak sabar dan tabah, bahkan ada yang berputus asa dalam menghadapi penyakitnya.  Setelah ia mengetahui bahwa penyakitnya sukar atau bahkan tidak dapat disembuhkan, timbul dalam pikirannya bahwa usaha apapun akan sia-sia menghabiskan biaya saja, sedangkan penyakitnya tidak sembuh-sem buh juga.
 Hal ini menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidupnya.  Ia ingin mempercepat kematiannya agar segala penderitaannya dapat berakhir.  Faktor penyebab mempercepat kematian seperti ini bersifat intern. Keinginan untuk mempercepat kematian seperti itu bukan saja berasal dari si sakit, tetapi kadang-kadang berasal dari keluarganya, bahkan dari dokter yang merawatnya.
Usaha-usaha atau tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian guna mengakhiri penderitaan karena penyakit, itulah yang disebut Euthanasia.  Sehubungan dengan ini, penulis ingin mengkaji hukumnya menurut pandangan Islam, yaitu bagaimana pandangan Hukum Islam tentang euthanasia.



B.       PENGERTIAN EUTHANASIA
Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ‘eu’ artinya baik, bagus, dan thanotos artinya mati.  Menurut Ensiklopedi Indonesia,bahwa euthanasia (Yunani:euthanasia = matinya gampang)[2]. Euthanasia artinya mati yang baik tanpa melalui proses kematian dengan rasa sakit atau penderitaan yang berlarut-larut.[3]  Dalam Kamus Inggris-Indonesia disebutkan, bahwa euthanasia termasuk kata benda yang berarti tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat.[4]  Dalam istilah medis, Euthanasia berarti membantu mempercepat kematian agar tebebas dari penderitaan.[5]
Menurut Dr. H. Ali Akbar, Euthanasia mempunyai pengertian:
1.        Kematian yang mudah dan tanpa sakit
2.        Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk mempercepat kematiannya
3.        Keinginan untuk mati dalam arti yang baik[6]
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa Euthanasia adalah usaha dan bantuan yang dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang yang menurut perkiraan sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskannya dari penderitaanya.
C.      MACAM-MACAM EUTHANASIA
Euthanasia dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
1        .Euthanasia aktif (positif) adalah apabila seorang dokter melihat pasiennya dalam keadaan penderitaan yang sangat berat, karena penyakitnya yang sulit disembuhkan dan menurut pendapatnya penyakit tersebut akan mengakibatkan kematian dan karena rasa kasihan terhadap si penderita ia melakukan penyuntikan untuk mempercepat kematiannya.
2        Euthanasia pasif (negatif) adalah apabila dokter tidak memberikan bantuan secara aktif untuk mempercepat proses kematian pasien.  Jika seorang pasien menderita penyakit dalam stadium terminal, yang menurut pendapat dokter sudah tidak mungkin lagi disembuhkan,maka kadang-kadang pihak keluarga, karena tidak tega melihat seorang anggota keluarganya berlama-lama menderita di rumah sakit, lalu meminta kepada dokter untuk menghentikan pengobatan.  Akibatnya si penderita akhirnya meninggal.
Dr.H. Ali Akbar memberikan contoh euthanasia aktif sebagai berikut: “penderita gawat darurat dirawat di rumah sakit gawat darurat dengan peralatan majemuk untuk menolong jantung, pernafasan, dan cairan tubuh, sehingga alat-alat tubuh tersebut dapat berfungsi dengan baik.  Euthanasia aktif dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat pembantu ini, sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi atau memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi yang juga akan menghentikan fungsi jantung”.
Demikian pula dapat disebut euthanasia aktif, jika obat-obatan dan segala prosedur lain, digunakan justru untuk menyebabkan atau mempercepat kematian pasien.[7]   Sedangkan euthanasia pasif dicontohkan sebagai berikut: “Seorang pasien membutuhkan obat-obatan dan perawatan yang mungkin dapat memperpanjang nyawanya.  Obat-obatan dan perawatan yang diperlukan itu, justru tidak diberikan. Termasuk euthanasia pasif juga seperti mematikan ventilator yang sangat dibutuhkan seorang pasien yang lama tak sadarkan diri karena mesin itu membantu memperpanjang usianya”.
Dr. Kartono Muhammad mengatakan bahwa pada praktek secara sadar atau tidak, euthanasia pasif bisa saja terjadi di Indonesia yang tidak sadar terpaksa melakukannya, karena kurangnya fasilitas yang ada di rumah sakit.  Sedang yang sadar membiarkan pasien yang sudah tidak tertolong lagi itu dibawa pulang. Penyebab timbulnya praktek euthanasia pasif adalah keterbatasan fasilitas penolong, ruang yang ada di rumah sakit dan mengingat beban keluarga.

D.      HUKUM EUTHANASIA
Syariat Islam menghormati dan menjunjung tinggi hak hidup bagi manusia.  Setiap perbuatan menghilangkan hidup,baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri dilarang dengan tegas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Dalam kitab suci Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang melarang pembunuhan, bahkan mengancamnya dengan hukuman.  Ayat-ayat itu antara lain surah An-Nisa ayat 93
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã ÇÒÌÈ  
 Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Dari Aisyah ra. Dari Rasulullah SAW  bersabda yang artinya “tidak halal membunuh seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: pezina yang muhshan (sudah berkeluarga) maka ia harus dirajam, seseorang yang membunuh seorang muslim dengan sengaja,maka ia harus dibunuh dan orang yang keluar dari Islam, kemudian is memerangi Allah dan Rasulullah maka ia harus dibunuh atau disalib atau diasingkan dari tempatnya”(H.R. Abu Daud dan Nasaiy)
Di samping melarang untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain, syariat Islam juga melarang untuk melakukan perbuatan bunuh diri, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29
Ÿwur..... (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
“...dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung hingga dia membunuh dirinya sendiri, maka tempatnya di neraka jahanam.  Ia masuk ke salamnya, kekal untuk selama-lamanya, dan barang siapa meminum racun sehingga ia membunuh dirinya sendiri, maka racun itu dipegang di tangannya ia meminumnya di neraka jahanam, ia kekal di dalamnya selama-lamanya, dan barang siapa membunuh dirinya dengan benda tajam, maka benda tajam itu dipegangkan di tangannya dan dipukulkannya pada dirinya di neraka jahanam dan ia kekal di dalamnya selama-lamanya”(H.R.Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Dari ayat dan hadis tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa euthanasia khususnya euthanasia aktif dimana seorang dokter melakukan upaya aktif membantu untuk mempercepat kematian seorang pasien, yang menurut perkiraaanya sudah tidak dapat bertahan untuk hidup, meskipun atas permintaan si pasien atau keluarganya dilarang menurut hukum Islam, karena perbuatan tersebut tergolong pada pembunuhan dengan sengaja.
Pembunuhan yang dibolehkan oleh Islam hanyalah pembunuhan yang dijelaskan oleh hadis-hadis yang telah disebutkan di atas,pembunuhan sebagai hukuman terhadap penzina muhshan, hukum bunuh bagi pelaku pembunuhan sengaja dan hukum bunuh bagi orang yang murtad dan pengganggu keamanan.  Sedangkan euthanasia tidak termasuk dalam jenis ini.  Oleh sebab itu,tindakan euthanasia menurut hukum Islam dianggap sebagai perbuatan terlarang, hukumya haram.
Penafsiran pembunuhan yang dibolehkan menurut hadis Nabi, telah dikemukakan oleh Prof. Mahmud Syaltut dlam bukunya Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, bahwa dengan melihat maksud dan tujuannya pembunuhan yang dibolehkan oleh syara’ (Islam) dapat dirumuskan dalam tiga segi:
1.                  Segi pelaksanaan perintah atau kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah pengadilan atau hakim
2.                  Segi pelaksanaan hak, yang meliputi:
a.       Hak wali si korban untuk melaksanakan hukuman qishash
b.      Hak penguasa untuk menghukum bunuh perampok/pengganggu stabilitas keamanan
3.                  Segi pembelaan baik terhadap diri, kehormatan,maupun terhadap harta benda[8]
Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan yang dikemukakan oleh  Prof.Mahmud Syaltut di atas,euthanasia tidak termasuk di dalamnya.  Dengan demikian, euthanasia aktif jelas dilarang oleh Islam.
Adapun euthansia aktif yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka menyelamatkan ibu yang telah melahirkan dengan jalan mematikan bayi yang akan dikandungnya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi itu mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, ini dibolehkan karena darurat berdasarkan kaidah
ا اضر و را ت تبيح ا لمحظو را ت
Artinya: keadaan darurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang
Selain daripada itu juga berdasarkan qaidah:ا ر تكا ب ا خف ا لضر و ر ين وا جب
artinya: Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib
            Jadi Islam membolehkan untuk melakukan euthanasia aktif dengan mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa ibu.  Nyawa ibu diutamakan, mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai hak dan kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk, sedangkan si janin (bayi), sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, ia belum mempunyai hak seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun.
            Sehubungan dengan pengaruh keadaan darurat tersebut Abd Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh mengatakan yang artinya sebagai berikut:
            Barang siapa yang tidak bisa mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan cara menyelamatkan membinasakan orang lain, tidaklah ia berdosa dalam tindakannya itu[9]
            Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh seorang dokter untuk membantu mempercepat kematiannya dianggap tidak ada, tetapi dokter yang melakukan euthanasia diaggap melakukan tindakan pidana atau kriminal yang harus dijatuhi hukuman.  Hanya saja mengenai jenis hukumannya ulama berbeda pendapat.
            Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia (pembunuhan dengan persetujuan korban) adalah membayar diyat (membayar 100 ekor unta atau seharga itu) dan bukan qishash, dengan alasan, bahwa persetujuan si korban (pasien) untuk menjadi objek euthanasia merupakan syubhat dalam status perbuatannya dan dalam hadis Nabi SAW, yaitu apabila dalam jarimah hudud (termasuk didalamnya qishash) terdapat syubhat maka hukuman bisa digugurkan atau diganti.
            Menurut Zufar salah seorang murid Abu Hanifah dan pendapat yang kuat adalah mazhab Maliki serta pendapat sebagian ulama Syafi’iyah hukuman yang dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas, tetap hukuman qishash (hukuman mati) karena persetujuan untuk menjadi objek euthanasia tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali.
            Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban dibebaskan dari hukuman, karena persetujuan pasien untuk menjadi objek euthanasia, sama statusnya dengan pembunuhan, baik dari hukuman qishash, maupun diyat maka dia bebas dari hukuman[10]
            Kemudian bagaimanakah pandangan hukum Islam tentang euthanasia pasif?  Menurut ajaran Islam, bahwa sakit yang menimpa seseorang itu dapat menghapuskan dosa. Meskipun demikian, bukan berarti penyakit yang menimpa seseorang itu dibiarkan saja tanpa upaya pengobatan karena agama Islam memerintahkan untuk mengobati setiap penyakit yang menimpa manusia, berdasarkan hadis-hadis Nabi SAW menurut Iman Al-Syaukany, bahwa penyakit yang oleh dokter telah dinyatakan tidak ada obatnya sekalipun,tidak ada upaya untuk mengupayakan pengobatannya[11]
            Apabila dokter mengatakan, bahwa penyakit tersebut sudah tidak bisa disembuhkan atau keadaanya sudah masuk dalam stadium terminal dan pihak pasien atau keluarganya dengan beberapa pertimbangan meminta atau menyetujui dihentikannya upaya pengobatan, maka penghentian pengobatan pasien tersebut akhirnya meninggal.  Dalam situasi dan kondisi yang demikian, tindakan yang bisa  dilakukan ialah bersabar dan tawakal serta berdoa kepada Allah SWT.[12]


E.                 PENUTUP
            Euthanasia artinya mati yang baik tanpa melalui proses kematian dengan rasa sakit atau penderitaan yang berlarut-larut.  Dalam Kamus Inggris-Indonesia disebutkan, bahwa euthanasia termasuk kata benda yang berarti tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat. Dalam istilah medis, Euthanasia berarti membantu mempercepat kematian agar tebebas dari penderitaan.
            Euthanasia dalam pandangan Islam tidak diperbolehkan, kematian merupakan ketetapan dari Allah SWT, setiap insan yang hidup pasti akan meninggal nantinya. Adapun yang diperbolehkan dalam Islam  hanya sebatas dalam keadaan darurat sebagaimana penyelamatan seorang ibu daripada bayi yang dikandungnya.           
             Dalam Islam setiap penyakit ada obatnya kecuali kematian. Setiap penyakit merupakan ujian dari Allah SWT.  Dalam hal menghadapi kasus euthanasia tersebut, sebagai insan yang bertaqwa haruslah berikhtiar, bersabar dan tawakal kepada Allah

DAFTAR PUSTAKA

Akbar Ali , Euthanasia Dilihat Dari Hukum Islam, Panji Masyarakat No.453.Th.XXVI,21 Desember 1984.
Al-Bukhari, Shahih Bukhary, juz v, Beirut, Dar Al-Fikri,t.th.
Al-Syaukany, Nail Al-Authar, Jilid IX, Saudi Arabia,Idarah Al-Buhuts Al-Islamiyah, T.th.
Arifin Syamsul, Menurut Pandangan Islam: Euthanasia Dilarang, Kiblat No.18.Th.XXVII (Februari ke 1 1981).
Audah Abd Qodir, As Tasyri’ Al Jinairy Al Islamy, Jilid 1 Beirut Dar Al Kitab Al Arabiyu, Th.th.,
Echols John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet ke V. Jakarta,Pt Gramedia, 1978,
Ensiklopedi Indonesia, Ikhtiar Baru
Khallaf Abd Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, cet.VIII.1986.
Muhammad dr.Kartono, Euthanasia, Kompas,6 Mei 1989
Syaltut Mahmud,Al-Islam Aqidah wa Syariah,Dar Al-Qalam, Mesir, 1966.
Yanggo Huzaimah Tahido, Masailul Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Angkasa,Bandung:2009.


[1] Al-Bukhari Shahih Bukhary, juz v, Beirut, Dar Al-Fikri,t.th.h.11
[2] Ensiklopedi Indonesia, Ikhtiar Baru
[3] Syamsul Arifin, Menurut Pandangan Islam: Euthanasia Dilarang, Kiblat No.18.Th.XXVII (Februari ke 1 1981).h.33
[4] John M.Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet ke V. Jakarta,Pt Gramedia, 1978,h.219
[5] dr.Kartono Muhammad, Euthanasia, Kompas,6 Mei 1989
[6] Ali Akbar, Euthanasia Dilihat Dari Hukum Islam, Panji Masyarakat No.453.Th.XXVI,21 Desember 1984.h.69
[7] Zaman, No.44/Th.II,26 Juli-1 Agustus 1981, Dilema Dokter: Hak Pasien Untuk Mati?.h.11
[8] Mahmud Syaltut,Al-Islam Aqidah wa Syariah,Dar Al-Qalam, Mesir, 1966. H.348
[9] Abd Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, cet.VIII.1986.h 208
[10] Abd Qodir Audah, As Tasyri’ Al Jinairy Al Islamy, Jilid 1 Beirut Dar Al Kitab Al Arabiyu, Th.th.,h.441-442
[11] Al-Syaukany, Nail Al-Authar, Jilid IX, Saudi Arabia,Idarah Al-Buhuts Al-Islamiyah, T.th.h.91
[12] Huzaimah Tahido Yanggo, Masailul Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Angkasa,Bandung:2009.,h.113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar