Selasa, 26 Juni 2012

simsar


SIMSAR (BADAN PERANTARA)

A.                PENDAHULUAN
Selaku makhluk sosial,manusia saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Betapa banyak orang yang tidak tahu bagaimana cara membeli atau menjual barang mereka. Adapula di antara yang karena kondisinya tidak memungkinkan untuk turun kepasar menemui penjual atau pembeli. Maka dalam keadaan yang demikian, diperlukan bantuan orang lain yang berprofesi sebagai makelar yang menerima upah atau komisi.
Dalam berbagai aktifitas ekonomi,kehadiran makelar mampu menambah kegiatan aktifitas perekonomian dengan mengalami kemudahan dalam pemenuhan barang-barang kebutuhan. Tidak jarang seorang makelar mampu menghubungkan antara penjual dan pembeli tanpa menghadirkan keduanya dalam satu akad atau dalam suatu transaksi perjanjian yang dibuat keduanya. Tetapai makelarlah yang membuat pengikatan janji tersebut dalam menghubungkan keduanya.Dikarenakan tugas makelar ialah menjadi penghubung dan perantara barang dari si pemilik barang dengan calon pembeli.
Dalam aktifitas seorang makelar tidak terikat dengan suatu barang,seperti yang kita ketahui sekarang yaitu sebutan dengan mekelar tanah. Orang yang menjadi perantara antara pemilik tanah dengan calon pembeli. Namun terkadang istilah makelar hanya tertuju pada hal-hal yag berbau tanah saja atau tertuju padanya. Tetapi semua kegiatan dan aktifitas ekonomi yang menghubungkan antara penjual dengan pembeli, maka ia disebut dengan makelar.
Dalam transaksi bisnis sekarang lebih terasa dibutuhkan, dibanding pada masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena rumitnya transaksi bisnis saat ini, seperti contoh dalam bisnis eksport, import, bisnis grosir hingga bisnis retail, semua itu menjadikan makelar (broker) sangat penting dalam memainkan peranan kegiatan ekonomi.
Maka selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas mengenai: apa itu makelar, bagaimana makelar dalam hukum islam dan makelar yang bagaimana yang dilarang dalam menjalankan atau menghubungkan antara penjual dan pembeli.
Apabila dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan,dari pemakalah meminta maaf atasnya. Adapun kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan dalam pembimbingan pembuatan makalah dan dalam karya tulis ilmiah yang sesuai dengan standar kelulusan.
B.                 PENGERTIAN
Dalam kamus  Bahasa Indonesia, makelar didefinisikan sebagai perantara pada jual beli.[1] Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan simsar. Dan kerja makelar disebut simsarah,ialah perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[2]Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau “simsarah”. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual beli[3]
Pada zaman modern ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi,sudah bergeser kepada jasa pengacara,jasa konsultan,tidak hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja.

C.                HUKUM MAKELAR DALAM ISLAM
Imam Bukhari berkata: “Ibnu Sirin,Artha,Ibrahim,dan Hasan memandang bahwa simsar itu boleh”. Ibnu Abbas berkata dalam sebuah hadits dinyatakan:
ءن ا بن عبا س ر ضي ا لله عنهما فى معني ا لسمسار قا ل:لا با س ا ن يقو ل: بع هذا الثو ب بكذا فما زاد فهو لك
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas r.a.,dalam perkara pengertian simsar,ia berkata,”Tidak mengapa,kalau seseorang berkata, “Jualah kain ini dengan harga sekian,berapapun lebihnya (dari penjualan itu) adalah untuk engkau.”(HR.Bukhari)
Adapun kelebihan yang dinyatakan dalam hadits ini adalah:pertama, harga yang lebih tinggi daripada harga yang ditentukan si penjual barang. Kedua,kelebihan barang setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh si pemilik barang kepada si pembeli.
Orang yang menjadi simsar dinamakan komisioner,makelar dan agen. Keberadaannya bergantung pada persyaratan atau ketentuan menurut hukum dengan sekarang ini.
Apapun namanya,misalnya simsar,komisioner,makelar dan agen,mereka bertugas sebagai perantara dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik atas nama sendiri maupun atas nama perusahaan pemilik barang.[4]Berdagang secara simsar ini dibolehkan dalam agama selama dalam pelaksanaanya tidak terjadi penipuan. Dengan demikian antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak makelar.
Untuk menghindari jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diingini maka barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Demikian juga dengan imbalan jasanya harus ditetapkan bersama lebih dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditandatangani lebih dahulu perjanjiannya didepan notaris.[5]
Makelar (pengacara,konsultan) hendaknya berlaku jujur, dan ikhlas menangani tugas yang dipercayakan kepadaya. Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan ada penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan haram sebagaimana firman Allah
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.[6]
            Makelar berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa makelar harus memenuhi dengan segera memberikan imbalannya, sesuai dengan hadis Nabi:
“berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya”.(HR.Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Abu Ya’la dari Abu Huraira, dan Al-Thabrani dari Anas)





D.                TRANSAKSI MAKELAR YANG TIDAK DIBOLEHKAN
Ada satu hal yang perlu diingat,bahwa profesi makelar itu tidak boleh disalahgunakan seperti untuk menjual atau mencari barang yang dilarang oleh agama. Umpamanya saja menjual atau mencari narkotika sebagai pesanan dari orang tertentu, mencari rumah untuk tempat berjudi atau tempat maksiat lainnya.
Transaksi makelar yang diharamkan merupakan praktek-praktek yang merugikan, seperti contoh pada mafia tanah yang sering disebut makelar. Kerja mereka adalah memborong tanah penduduk dengan harga semurah-murahnya dan terkadang dengan pemaksaan,intimidasi,  gangguan dan sebagainya. Sebab mereka tahu tanah disekitar wilayah itu akan dibangun proyek tertentu. Maka bermuncullah para makelar dan mafia tanah mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari proyek itu. Dan tentunya negara dirugikan karena tanah yang semula dihitung dengan harga yang wajar,tiba-tiba naik hingga berkali lipat.
Atau seperti yang dilakukan oleh para calo tiket. Pada dasarnya membeli tiket resmi untuk dijual lagi dengan mengambil keuntungan boleh-boleh saja asal rela sama rela dan tidak merugikan pihak konsumen. Misalnya, dari pada capek antre dan belum tentu kebagian, seseorang mengupah orang lain untuk antre diloket dan untuk jasanya itu, orang itu mendapatkan upah. Inilah argumen pembenaran yang selalu dijadikan tameng  oleh para calo tiket itu.
Namun disisi lain, yang terjadi adalah semua tiket habis diborong para calo sehingga harga yang seharusnya terjangkau calon penumpang menjadi naik berkali lipat. Tentu saja ini merupakan tindakan yang merugikan konsumen, karena mereka diharuskan untuk membayar lebih. Maka dalam contoh kasus ini, calo tiket mengambil kesempatan dalam kesempitan orang lain. Ini contoh bentuk kemakelaran yang merugikan orang lain.
            Termasuk dalam larangan Nabi saw., orang kota menjadi makelar orang desa, sebagaimana diterangkan dalam hadits dibawah ini
نهى ا لنبى ص م ان يبيع حا ضر لبا د
“Rasulullah melarang orang kota menjualkan untuk orang desa (HR.Bukhari dan Nasa’i)
Adapun pengertian hadits tersebut,dapat diketahui dari sahabat Nabi ialah apa yang dikemukakan oleh Thawus:
قلت لا بن عباس: ما قو له (ولايبع حا ضر لبا د)؟ قا ل: لايكون سمسارا
saya bertanya kepada Ibnu Abbas: “apakah arti sabda Nabi: janganlah orang kota menjualkan buat orang desa? Jawabnya (artinya):”janganlah ia menjadi perantara (makelar) baginya. (Muttafaq ‘Alaih)
            Sesungguhpun telah ada penjelasan dari Ibnu Abbas,namun masih terdapat perbedaan diantara fuqaha mengenai persoalan ini. Menurut keterangan Imam Bukhari, yang dimaksudkan “simsar” dalam tafsirn Ibnu Abbas itu,ialah orang yang bertindak menguruskan jual beli untuk orang lain dengan upah. Dengan demikian jika pengertian Imam Bukhari diterima, maka perantara atau makelar yang tidak mengambil upah, kedudukannya dapat dianggap sebagai penasehat atau penolong. Perantara seperti itu tidak termasuk dalam larangan tersebut dan dibolehkan.
            Segolongan ulama memasukan kedalam larangan ini semua makelar,baik yang menerima upah maupun yang tidak menerimanya. Sebagian ulama menafsirkan “bentuk penjualan orang kota untuk orang desa” yaitu dengan cara seorang asing datang kesuatu negeri dengan membawa barang dagangan yang hendak dijualnya dengan harga yang berlaku pada hari itu. Lalu orang kota datang kepadanya dengan mengatakan: “berikanlah barangmu itu kepadaku,biar saya beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi”. Bentuk inilah yag dilarang menurut Syafi’iah dan Hanabilah.
            Ada pula yang membatasi larangan itu,yaitu hanya kepada menjadi makelar untuk orang desa semata-mata. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa orang kota disamakan dengan orang desa apabila dia tidak mengetahui perkembanga harga pasaran. Sebaliknya biarpun orang desa jika dia tau perkembangan harag pasar,maka dipandang sudah termasuk orang desa lagi. Jadi dalam hal ini tergantung kepada kebiasaan umum.
            Ada lagi ulama yang membatasi pengertian “perantara yang terlarang” dengan syarat ia mengetahui larangan ini,dan ia pun tahu bahwa barang-barang itu adalah barang-barang yang dibutuhkan umum,dan ditawar oleh orang kota kepada orang desa. Tetapi apabila orang desa sendiri yang menawarkan barangnya kepada makelar orang kota, maka hal in tidaklah terlarang.
            Menurut Imam as-Shan’ani penulis Subulus-Salam, semua pembatasan ini tidak ada alasannya dalam hadits,melainkan mereka menyimpulkan saja dari sebab yang mereka dapatkan dari hadits. Sekelompok ulama lagi menyatakan secara mutlak kebolehan orang kota menjadi makelar (perantara) buat orang desa,dengan memandang perbuatan tersebut dari sudut “nasihat”, sebab ada hadits yang menganjurkan memberi nasihat kepada saudara yang minta nasihat. Mereka juga memandang bahwa hadits “larangan orang kota menjadi perantara orang desa”,sudah dihapuskan hukumnya (mansukh). Pendapat ini dipegang oleh Atha’,Mujahid, Abu Hanifah dan al-Hadi. Pandangan ini dibantah oleh fuqaha lain; bahwa keterangan yang sharih tentang mansukhnya hadits itu tidak ada.
            Menurut segolongan fuqaha bahwa larangan itu mencakup juga pembelian untuk orang desa. Jadi, orang kota menjadi makelar untuk orang desa baik dalam hal penjualan maupun pembelian sama saja. Demikian diriwaybatkan Abu Awanah dari Ibnu Sirin,juga Abu Dawud dari Ibnu Sirin yang diterimanya dari Anas.

HIKMAH DIBALIK LARANGAN
            Ustadz A.Hasan (Bangil) berpendapat bahwa dalam urusan keduniaan tidak ada satupun perintah atau larangan agama yang tidak dapat dipikirkan gunanya atau faedahnya oleh manusia. Dan tidak satupun perintah yang menghalangi kemajuan dan kemakmuran perdagangan,pertanian,pertukangan dan lain-lain perusahaan yang halal. Dan tidak satupun perkara kebaikan dilarang oleh agama,sebagaimana tidak ada satupun perkara kejahatan yang dibenarkannya.
            Dari pandangan tersebut, maka menurut hemat penulis,tidaklah Nabi saw.mengeluarkan larangan orang kota menjadi perantara jualan orang desa, jika tidak ada akses yang buruk dalam perbuatan tersebut. Kita maklum ciri orang desa atau orang udik(al-Badi) lebih terbelakang dibandingkan dengan orang kota. Orang kota lebih maju,lebih lincah dan lebih pintar dari orang udik.  Karena itu lumrah terjadi pengelabuan yang dilakukan oleh tengkulak kota terhadap orang desa. Orang desa menyerahkan barangnya secara jujur kepada makelar kota,tetapi makelar kota menerimanya dengan lihai,sehingga timbullah semacam penipuan dan pengelabuan.
            Perbuatan semacam ini jelas buruk dari segi moral. Maka bijaksanalah jika larangan Nabi itu dikeluarkan. Akses yang mungkin timbul lebih kurang juga dalam hal larangan menghadang kafilah. Menjadi makelar yang nyata-nyata membawa akses buruk seperti itu jelas terlarang. Adapun  menjadi makelar yang jujur, dimana orang desa yang diwalikinya tahu harga pasaran,tidak ada unsur-unsur penipuan dan pengelabuan,maka kiranya tidaklah termasuk perbuatan yang haram.  Bahkan perbuatan tersebut dapat dimasukkan sebagai tolong menolong dalam kebaikan.[7]
E.                 KESIMPULAN

Sebagai makhluk sosial manusia saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya.  Maka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia membutuhkan seorang makelar (perantara) antara penjual dengan pembeli guna untuk memudahkan jual beli. Dalam hal ini makelar berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya,sedangkan pihak yang menggunakan jasa makelar harus memenuhi dengan segera memberikan imbalannya. Islam membenarkan (boleh) bentuk kerja makelar selama dalam melakukan transaksinya tidak menyalahi ketentuan nash al Qur’an dan Sunnah serta ada unsur tolong menolong dan saling mendapat manfaat.
Diantara anggota masyarakat ada yang menempuh jalan pintas, ingin cepat kaya, ingin hidup mewah, dan motivasi-motivasi lainnya, sehingga tidak melihat lagi dari sudut pandang agama yang dianutnya. Ringkasnya semua barang yang dilarang memperjualbelikannya, jangan melibatkan diri kedalamnya,walaupun imbalanya besar. Sebab hasil yang diperoleh dari usaha yang demikian, juga haran dimanfaatkan.


[1] Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas Media,1999), hal.200
[2] Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press,2003), hal.131
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12,(Bandung: Alma’arif,1993),hal. 69
[4] Ibnu Mas’ud,Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i edisi 2, (Bandung: Pustaka Setia,2000), hal.50
[5] Ali Hasan, Op, Cit,. Hal.132-133
[6] Qur’an Terjemah Surah Annisa ayat 29
[7] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung:Diponegoro,1984),hal.163-166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar