Manajemen Pemasaran Islami
A.
Pendahuluan
Seiring dengan sejarah manusia dalam memenuhi
kebutuhannya, ada pihak yang meminta dan ada yang menawarkan. Pemasaran menarik
perhatian yang sangat besar baik dari perusahaan, lembaga maupun antar bangsa.
Proses pemasaran menjadi bagian penting dalam menawarkan barang dagangan kepada
calon pembeli. Apabila seorang pengusaha mempunyai manajemen pemasaran yang
bagus, maka usahanya akan cepat berkembang.
Keberhasilan usaha suatu perusahaan ditentukan oleh
keberhasilan pemasarannya. Pemasaran merupakan suatu proses kegiatan yang mulai
jauh sebelum barang-barang/ bahan-bahan masuk dalam proses produksi.[1]Pada
zaman dahulu pemasaran dianggap sebagai tempat para artis menggeruk keuntungan,
orang penuh tipu muslihat. Penjaja barang yang menggoda keinginan orang. Oleh
sebab itu banyak konsumen yang ditelan oleh orang-orang jahat,tapi anehnya kita
suka saja kena bujukan dan rayuan dan membeli barang yang seharusnya tidak
dibutuhkan.
Cepat atau lambat perusahaan harus memperbaiki
kemampuannya untuk mempertahankan dan mengembangkan perusahaannya. Kiblat perusahaan adalah para langganan dan
semua fungsi bekerjasama untuk melayani dan memuaskan konsumen. Akhirnya banyak
ahli pemasaran mengatakan bahwa pemasaran perlu diutamakan dalam perusahaan
jika kebutuhan pelanggan dipuaskan secara efisien[2].
Dalam hal ini maka manajemen pemasaran itu sangat memegang peranan penting agar
perusahaan tetap berjalan bahkan maju dalam bisnisnya.
Pemasaran yang berhasil sudah tentu memiliki konsep yang
baik pula, tidak ada unsur penipuan maupun ketidakjujuran, biasanya pemasaran
seperti ini menggunakan konsep religius atau memasukkan unsur-unsur
keagamaan,sehingga ada kehati-hatian dalam memasarkannya. Maka dalam makalah
ini akan dibahas bagaimana manajemen pemasaran Islami?
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Pemasaran dan Manajemen Pemasaran
Pemasaran yaitu suatu proses social
yang di dalamnya berupa individu dan kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka
butuhkan (need) dan inginkan (want) dengan menciptakan, menawarkan, dan secara
bebas mempertukarkan produk dengan pihak lain.[3]Sedangkan
beberapa definisi mengenai pemasaran diantaranya adalah :[4]
a. Philip Kotler (Marketing) pemasaran adalah kegiatan
manusia yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui proses
pertukaran.
b.
Menurut Philip Kotler dan Amstrong pemasaran adalah sebagai suatu proses sosial
dan managerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka
butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan
nilai dengan orang lain.
c.
Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk
merencanakan, menentukan harga, promosi dan mendistribusikan barang- barang
yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan
perusahaan.
d.
Menurut W Stanton pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan
mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli maupun pembeli
potensial.
Manajemen pemasaran berasal dari dua kata yaitu manajemen dan
pemasaran. Menurut Kotler dan Armstrong pemasaran adalah analisis, perencanaan,
implementasi, dan pengendalian dari program-program yang dirancang untuk
menciptakan, membangun, dan memelihara pertukaran yang menguntungkan dengan
pembeli sasaran untuk mencapai tujuan perusahaan. Sedangakan manajemen adalah
proses perencanaan (Planning), pengorganisasian (organizing) penggerakan
(Actuating) dan pengawasan.
Jadi dapat diartikan bahwa Manajemen Pemasaran adalah sebagai analisis,
perencanaan, penerapan, dan pengendalian program yang dirancang untuk
menciptakan, membangun, dan mempertahankan pertukaran yang menguntungkan dengan
pasar sasaran dengan maksud untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi.[5]
2.
Karakteristik Pemasaran Islami (syariah marketing) yang
dapat menjadi panduan bagi para pemasar
4 karakteristik
Pemasaran Islami (syariah marketing) yang dapat menjadi panduan bagi para
pemasar sebagai berikut:
1) Teistis (rabaniyyah)
Salah satu ciri khas syariah marketing
yang tidak dimiliki dalam pemasaran konvensional yang dikenal selama ini adalah
sifat yang religius (dinniyah). Kondisi ini tercipta tidak karena keterpaksaan,
tetapi berangkat dari kesadaran akan nilai-nilai religius, yang dipandang
penting dan mewarnai aktivitas pemasaran agar tidak terperosok kedalam
perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Jiwa seorang syariah marketer menyakini
bahwa hukum-hukum syariat yang teistis atau bersifat ketuhanan ini adalah hukum
yang paling sempurna. seorang syariah marketer meyakini bahwa Allah swt. selalu
dekat dan mengawasinya ketika dia sedang melaksanakan segala macam bentuk
bisnis. Dia pun yakin bahwa Allah swt. akan meminta pertanggung jawaban darinya
atas pelaksanaan syariat itu pada hari ketika semua dikumpulkan untuk
diperlihatkan amal-amalnya (di hari kiamat).
2) Etis
(akhlaqiyyah)
Sifat etis ini sebenarnya merupakan
turunan dari sifat teistis. Dengan demikian, syariah marketing adalah konsep
pemasaran yang sangat mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli
apapun agamanya. Karena nilai etika adalah nilai yang bersifat universal, yang
diajarkan oleh semua agama.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah
swt. memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya yang meliputi segala sesuatu
yang dibutuhkan manusia, baik akidah, akhlak (moral, etika), maupun syariah.
Dua komponen pertama, akidah dan akhlak bersifat konstan, keduanya tidak
mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan
syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban manusia,
yang berbeda-beda sesuai dengan rasulnya masing-masing.
3) Realistis
(al-waqi’iyyah)
Realistis (Al-Waqi’iyyah)S yariah
marketing bukanlah konsep yang eksklusif, fanatis, anti-modernitas, dan kaku.
Syariah marketing adalah konsep pemasaran yang fleksibel, sebagaimana keluwesan
syariah Islamiyah yang melandasinya.
Syariah marketer bukanlah berarti para
pemasar itu harus berpenampilan ala bangsa Arab dan mengharamkan dasi karena
dianggap merupakan simbol masyarakat barat. Syariah marketer adalah para
pemasar profesional dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apapun
model atau gaya berpakaian yang dikenakannya. Mereka bekerja dengan profesional
dan mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, aspek moral, dan kejujuran
dalam segala aktivitas pemasarannya.
4) Humanistis
(insaniyyah)
Humanistis (Al-insaniyyah) adalah bahwa
syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat
kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat
terkekang dengan panduan syariah. Dengan memiliki nilai humanistis ia menjadi
manusia yang terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah,
yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bukan menjadi manusia yang bahagia diatas penderitaan orang lain atau manusia
yang kering dengan kepedulian sosial.
Syariat Islam adalah syariah humanistis
(insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya
tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan, dan status. Hal inilah yang
membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariat humanistis
universal.
3.
Prinsip-prinsip Pemasaran dalam Perspektif Al-Qur’an
Yusanto dan widjajakusuma[6]
(2002: 170) mengatakan bahwa dalam menggagas bisnis Islami haruslah
memperhatikan implementasi syariat pada marketing mix. Marketing mix atau Bauran Pemasaran adalah
seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus
mencapai tujuan pemasarannya pada pasar yang menjadi sasaran. Implementasi
syariat dapat diterapkan dalam variabel-variabel marketing mix yakni product,
price, place, dan promotion.
Berkaitan
dengan bauran pemasaran konvensional, maka penerapan dalam syariah akan merujuk
pada konsep dasar kaidah fiqih yakni ”Al-ashlu fil-muamalah al-ibahah
illa ayyadulla dalilun ’ala tahrimiha” yang berarti bahwa pada dasarnya
semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya (Kartajaya dan
Sula, 2008: 27). Berikut
adalah marketing mix dalam perspektif syariah, yakni:[7]
1. Produk
Kotler dan
Keller mendefinisikan produk sebagai segala sesuatu yang dapat ditawarkan pada
pasar untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan (2009: 358). Namun, jika ditinjau
dari perspektif syariah, Islam memiliki batasan tertentu yang lebih spesifik
mengenai definisi produk. Menurut Al Muslih (2004, 331-386), ada tiga hal yang
perlu dipenuhi dalam menawarkan sebuah produk;
1) produk yang
ditawarkan memiliki kejelasan barang, kejelasan ukuran/ takaran, kejelasan komposisi, tidak rusak/ kadaluarsa
dan menggunakan bahan yang baik,
2) produk yang diperjual-belikan adalah produk
yang halal dan
3) dalam promosi maupun iklan tidak melakukan
kebohongan.
”Jika barang itu rusak katakanlah
rusak, jangan engkau sembunyikan. Jika barang itu murah, jangan engkau katakan
mahal. Jika barang ini jelek katakanlah jelek, jangan engkau katakan bagus”. (HR.
Tirmidzi).
Hadits tersebut juga didukung hadits
riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hambal, “Tidak dihalalkan bagi seorang muslim
menjual barang yang cacat, kecuali ia memberitahukannya,”. Pernyataan lebih
tegas disebutkan dalam Al Quran Surat Al Muthaffifiin (1-3) “Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
Uraian diatas jelas mengatakan bahwa
hukum menjual produk cacat dan disembunyikan adalah haram. Artinya,
produk meliputi barang dan jasa yang ditawarkan pada calon pembeli haruslah
yang berkualitas sesuai dengan yang dijanjikan. Persyaratan mutlak yang juga
harus ada dalam sebuah produk adalah harus memenuhi kriteria halal.
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini
haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung”. (An-Nahl: 116). Makanlah olehmu
makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakan amal shalih. (Al-Mu’minuun:
51).
2. Harga
Definisi harga menurut Kotler
(1995) adalah Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan untuk sebuah
produk atau jasa. Secara lebih luas, harga adalah keseluruhan nilai yang
ditukarkan konsumen untuk mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap
sebuah produk atau jasa.
Menurut Ferrel dan Hartline (2005: 181) price merupakan
isu kunci dari marketing mix. Karena harga digunakan untuk mengartikan
kualitas sebelum konsumen mendapatkan pengalaman membeli.
Kotler (2003: 470) mengatakan harga adalah satu-satunya
elemen dalam marketing mix yang menghasilkan pendapatan sedangkan elemen
lain hanya menghasilkan biaya.
Kotler dan Keller (2009: 63) mengklasifikasikan harga
meliputi daftar harga diskon, periode pembayaran, dan syarat kredit. Menurut
Yusanto dan Widjajakusuma (2002: 170) terhadap pelanggan, harga akan disajikan
secara kompetitif. Senada dengan pendapat itu, Arifin (2009: 107) menjelaskan
bahwa harga harus benar-benar kompetitif, antara pebisnis satu dengan yang
lainnya. Islam sependapat dengan penentuan harga yang kompetitif.
Namun dalam menentukan harga tidak boleh menggunakan
cara-cara yang merugikan pebisnis lainnya. Islam tentu memperbolehkan pedagang
untuk mengambil keuntungan. Karena hakekat dari berdagang adalah untuk mencari
keuntungan. Namun, untuk mengambil keuntungan tersebut janganlah
berlebih-lebihan (Ghazali, 1983: 308). Karena, jika harga yang ditetapkan
adalah harga wajar, maka pedagang tersebut pasti akan unggul dalam kuantitas.
Dengan kata lain, mendapat banyak keuntungan dari banyaknya jumlah barang yang
terjual, dan tampak nyatalah keberkahan rizkinya (Ghazali, 1983: 309). Dalam proses penentuan harga, Islam
juga memandang bahwa harga haruslah disesuaikan dengan kondisi barang yang
dijual. Nabi Muhammad SAW pernah marah saat melihat seorang pedagang
menyembunyikan jagung basah di bawah jagung kering, kemudian si pedagang
menjualnya dengan harga tinggi (Ghazali, 1983: 298). Dalam sebuah hadits beliau
mengatakan:
“Mengapa
tidak engkau letakkan yang kebasahan itu diatas bahan makanan itu, sehingga
orang-orang dapat mengetahui keadaannya. Barang siapa menipu, maka ia bukanlah
masuk golongan kita” (HR. Muslim).
Hadits
diatas mengindikasikan jika memang barang itu bagus, maka wajar jika harganya
mahal. Namun jika barang itu jelek kualitasnya, sudah sewajarnya dijual dengan
harga murah. Nabi Muhammad SAW mengajarkan penetapan harga yang baik. Barang
yang bagus dijual dengan harga bagus. Dan barang dengan kualitas lebih rendah
dijual dengan harga yang lebih rendah. Tidak selayaknya barang yang jelek
dijual dengan harga mahal.
Rasulullah
SAW juga melarang perihal najasy (false demand). Transaksi najasy
diharamkan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar
dengan harga tinggi agar orang lain tertarik untuk membeli (Karim, 2007: 182).
Padahal, si penawar sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang
tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli.
Sebelumnya, orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli
dengan harga tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnya dengan harga yang tinggi
pula dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi permintaan palsu atau false
demand.
3. Promosi
Menurut Kotler (1995) yang dimaksud
dengan promosi adalah: sarana yang digunakan perusahaan dalam upaya untuk
menginformasikan, membujuk dan mengingatkan konsumen langsung atau tidak
langsung- tentang produk dan merek yang mereka jual (Kotler dan Keller, 2007:
204). Salah satu tujuan promosi dalam periklanan adalah untuk memberitahukan
atau mendidik konsumen (Abdullah dan Ahmad, 2010). Tujuan promosi lain menurut
Kotler dan Amstrong (2004) adalah menginformasikan keadaan terkini kepada
konsumen potensial tentang keberadaan produk atau jasa, untuk mengajak konsumen
merubah perilaku mereka dalam percobaan produk atau pembelian, untuk
mengembangkan sikap baik terhadap produk, merek atau perusahaan dan untuk
mengingatkan konsumen tentang keunggulan produk.
Pemasar
perlu mempertimbangkan beberapa faktor dalam menciptakan dan mengantarkan pesan
yang efektif (Haque et al: 2010). Faktor-faktor ini meliputi, pembatasan tipe
media yang digunakan, kemampuan untuk mempromosikan produk-produk tertentu,
citra periklanan, grup sosial dan aturan pemerintah (Waller dan Fam: 2000). Setiap
pesan yang disampaikan dalam promosi akan menawarkan dua hal, yaitu alasan
untuk membeli (melalui iklan) dan insentif untuk membeli (melalui promosi
penjualan). Dalam pemasaran konvensional, promosi tidak bersinggungan secara
langsung pada nilai-nilai religius yang mengatur setiap proses dalam promosi
sesuai dengan aturan-aturan agama Islam. Kavoossi dan Frank (1990) meneliti
perilaku berlebihan dalam membuat pernyataan dalam periklanan di Amerika.
Mereka mencatat penekanannya ada pada keawetan produk, kualitas dan berbagai
hal yang berkaitan dengan barang yang ditawarkan dan penjual.
Semua pesan dalam periklanan yang mengikuti ajaran Islam
akan menyebarkan moral yang baik, seperti wanita dengan perilaku dan pakaian
yang pantas, yang mengasumsikan pesan tersebut berperan sebagai kontribusi
positif untuk keluarga dan masyarakat secara keseluruhan, melawan kebiasaan
wanita sebagai objek hasrat seksual. Pemasar atau produser periklanan di dunia
muslim akan mendapat benefit dengan meningkatkan dan memahami
nilai-nilai muslim (Rice dan Al-Mossawi, 2002). Dengan demikian, calon pembeli
muslim akan merasakan keterkaitan secara emosional. Calon pembeli non-muslim
pun mungkin akan merasa lebih yakin dengan produk tersebut karena adanya nilai
universal yang baik dan berlaku umum yang dapat ditunjukkan Islam sebagai agama
yang rahmatan lil alamin.
Al-Qur’an tidak melarang adanya periklanan dan memang
periklanan dapat digunakan untuk mempromosikan kebenaran Islam (Al-Makaty et
al, 1996). Namun, periklanan yang berisi tentang pernyataan-pernyataan yang
dilebih-lebihkan termasuk kedalam bentuk penipuan, tidak peduli apakah
deskripsi pernyataan tersebut sebagai metafor atau sebagai kiasan (Haque et al,
2010) tentu sudah pasti dilarang. Hal ini tersirat dalam hadits-hadits berikut:
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan bersama
para nabi, orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada (HR. Tarmidzi
dan Ibnu Majah)”.
“Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang
yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan
(HR. Bukhari)”.
“Sumpah palsu itu merusakkan dagangan dan melenyapkan
keberkahan pekerjaan (HR. Bukhari dan Muslim)”.
“Celakalah bagi seseorang pedagang yang suka
menyebutkan:..’ya, demi Allah’ atau ‘tidak, demi Allah’. Celaka pulalah bagi
seorang pekerja yang menunda-nunda kerjanya sampai besok atau besok lusa
(HR. Anas r.a)”.
Pemasaran dalam tinjauan syariah menyandarkan pedoman
etikanya pada nilai-nilai Islami yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.
Promosi dalam tinjauan syariah harus sesuai dengan sharia compliance
yang merefleksikan kebenaran, keadilan dan kejujuran kepada masyarakat. Segala
informasi yang terkait dengan produk harus diberitahukan secara transparan dan
terbuka sehingga tidak ada potensi unsur penipuan dan kecurangan dalam
melakukan promosi. Promosi yang tidak sesuai dengan kualitas atau kompetensi,
contohnya promosi yang menampilkan imajinasi yang terlalu tinggi bagi
konsumennya, adalah termasuk dalam praktik penipuan dan kebohongan. Untuk itu promosi yang semacam
tersebut sangat dilarang dalam Islam (Kartajaya dan Sula, 2008: 178).
4. Tempat/distribusi
Definisi
menurut Kotler (1995) mengenai distribusi adalah Berbagai kegiatan yang dilakukan
perusahaan untuk membuat produknya mudah diperoleh dan tersedia untuk konsumen
sasaran. Kotler dan Keller (2009: 63) mengatakan distribusi
meliputi jenis hubungan, perantara, penyimpanan, lokasi, dan transportasi.
Seorang pebisnis muslim tidak akan melakukan tindakan kedzaliman terhadap
pesaing lain, suap untuk melicinkan saluran pasarannya, dan machevialis
tindakan lainnya (Yusanto dan Widjajakusuma, 2002: 170). Dalam menentukan place
atau saluran distribusi, perusahaan Islami harus mengutamakan tempat-tempat
yang sesuai dengan target market, sehingga dapat efektif dan efisien. Sehingga
pada intinya, dalam menentukan marketing-mix harus didasari pada
prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran. Yusanto dan Widjajakusuma (2002: 21)
berpendapat perbedaan antara bisnis Islami dan non-Islami terletak pada aturan
halal dan haram, sehingga harus terdapat kehati-hatian dalam menjalankan
strategi.
Nabi
Muhammad SAW melarang pemotongan jalur distribusi dengan maksud agar harga
naik. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Rasulullah SAW melarang
penghadangan rukban serta melarang pula berlomba-lomba menaikkan penawaran,”
(HR. Bukhari dan Muslim). Adapun arti menghadang (talaqi) rukban, dalam hadits
tersebut, ialah menghadang para penjual yang biasanya (di negeri Arab) dengan
berkendaraan membawa dagangan dari daerahnya masing-masing, lalu meminta supaya
barang dagangannya diturunkan disitu dan dibeli dengan harga semurah-murahnya
(Ghazali, 1983: 305). Sebab, si pembeli tersebut akan memberikan berita bohong
mengenai harga yang sebenarnya saat itu kepada penjual-penjual yang dari daerah
tadi, tujuan berdustanya itu adalah supaya mendapatkan dagangan dengan harga
semurah-murahnya.
Tujuan dari fungsi distribusi adalah mempercepat
sampainya barang di tangan konsumen atau pasar pada saat yang tepat. Kebijakan
distribusi setidaknya harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, yaitu ketepatan
dan kecepatan waktu tiba di tangan konsumen. kedua, keamanan yang terjaga dari
kerusakan, dan yang ketiga sarana kompetisi dalam memberikan kecepatan dan
ketepatan memenuhi kebutuhan konsumen. Oleh karena itu, Islam melarang adanya
ikhtikar atau penimbunan (monopoly’s rent-seeking), sebab ikhtikar akan
menyebabkan berhentinya saluran distribusi yang mengakibatkan kelangkaan
sehingga harga barang tersebut akan meningkat (Karim, 2007: 153). Larangan
ikhtikar didasari hadits yang menyebutkan bahwa: “Tidaklah orang melakukan
ikhtikar itu kecuali ia berdosa”. (HR Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).
4.
Strategi
Pemasaran Islami
Ada empat hal yang menjadi faktor kunci sukses dalam mengelola suatu
bisnis agar mendapat nilai-nilai moral yang tinggi yaitu[8]:
1.
Shiddiq (benar dan jujur),jika seorang pemimpin
senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam sepanjang kepemimpinannya, jika
seorang shiddiq haruslah menjiwai seluruh perilakunya dalam melakukan
pemasaran,dalam berhubungan dengan pelanggan, dalam bertransaksi dengan nasabah
dan dalam membuat perjanjian dengan mitra bisnisnya.
2.
Amanah (terpercaya), dapat dipercaya, bertanggung
jawab,juga bermakna keinginan untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan ketentuan.
Diantara nilai yang terkait dengan kejujuran dan melengkapinya adalah amanah.
3.
Fathanah (cerdas),dapat diartikan sebagai
intelektual, kecerdikan atau kebijaksanaan. Pemimpin yang fathonah adalah
pemimpin yang memahami,mengerti dan menghayati secara mendalam segala hal yang
menjadi tugas dan kewajibannya.
4.
Tabliq (komunikatif),artinya komunikatif dan
argumentatif. Orang yang memiliki sifat ini akan menyampaikannya dengan benar
dan dengan tutur kata yang tepat. Berbicara dengan orang lain dengan sesuatu
yang mudah dipahaminya, berdiskusi dan melakukan persentasi dengan bahasa yang
mudah dipahami sehingga orang tersebut mudah memahami pesan bisnis yang ingin
kita sampaikan.
KESIMPULAN
Manajemen Pemasaran adalah sebagai analisis, perencanaan, penerapan,
dan pengendalian program yang dirancang untuk menciptakan, membangun, dan
mempertahankan pertukaran yang menguntungkan dengan pasar sasaran dengan maksud
untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi. Adapun karakteristik pemasaran dalam Islam mencakup teitis (rabbaniyah),etis
(akhlaqiyah),realistis dan humanistis (insaniyah).
Marketing mix dalam Islam harus didasari pada prinsip-prinsip keadilan
dan kejujuran, produk haruslah halal dan baik,dalam
menentukan harga tidak boleh menggunakan cara-cara yang merugikan pebisnis
lainnya. Islam tentu memperbolehkan pedagang untuk mengambil keuntungan. Karena
hakekat dari berdagang adalah untuk mencari keuntungan. Segaimana imam
Ghozali mengatakan bahwa untuk mengambil keuntungan tersebut
janganlah berlebih-lebihan.
Ada empat kunci
sukses dalam mengelola suatu bisnis agar mendapat nilai-nilai moral yang tinggi
yaitu shidiq,amanah,fathonah dan tabliq..Pemasaran dalam tinjauan syariah
menyandarkan pedoman etikanya pada nilai-nilai Islami yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadits.
Promosi dalam tinjauan syariah harus sesuai dengan yang merefleksikan
kebenaran, keadilan dan kejujuran kepada masyarakat. Periklanan yang mengikuti
ajaran Islam akan menyebarkan moral yang baik. Pemasaran yang baik tidak akan
menguntungkan satu pihak saja namun menguntungkan bagi semua orang serta
sabaliknya tidak merugikan salah satu pihak.
DAFTAR PUSTAKA
file:///D:/internt/pemasaran-islami.html, 11 juni 2012
file:///D:/irma/tinjauan-teoritis-konsep-pemasaran.html, 11 juni 2012
Nasution Arman Hakim, Sudarso Indung,
Trisurno Lantip,Manajemen Pemasaran untuk
Engineering,(Yogyakarta:C.V ANDI OFFSET,2006), hal 1
file:///D:/irma/PENGERTIAN,%20KONSEP,%20DEFINISI%20PEMASARAN%20%C2%AB%20_FACULTY%20OF%20JEEHAD%20_Ruhul%20Jadid_.htm, 11 juni 2012
Assauri Sofjan
, Manajemen Pemasaran, Dasar,Konsep & Strategi,Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2004
Mursid M, Manajemen Pemasaran,Jakarta: Bumi
Aksara,2003
Elqomi Ahmadi,Dasar Marketing Syari’ah,http://www
dasar-marketing-syariah.com/2008/08/06 wordpress
[1] Sofjan Assauri, Manajemen
Pemasaran, Dasar,Konsep & Strategi,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004), hal.3
[3] Nasution Arman Hakim,
Sudarso Indung, Trisurno Lantip,Manajemen
Pemasaran untuk Engineering,(Yogyakarta:C.V ANDI OFFSET,2006), hal 1
[5] Ibid
[8] Ahmad Elqomi,Dasar
Marketing Syari’ah,http://www dasar-marketing-syariah.com/2008/08/06
wordpress
thanks ya, sangat membantu saya dalam pemasaran Islami
BalasHapus